Karya : Habiburahman El-Shirazi
SATU
SIAPAKAH yang mampu hidup tanpa cinta?
Perempuan
manakah yang bisa membangun singgasana rumah tangganya tanpa cinta? Ia bertanya
pada dirinya sendiri dengan hati pilu.
Tak
ada! Jawabnya sendiri.
Kecuali,
manusia yang hidup tanpa hati dan nurani, seperti pelacur yang biasa hidup
nista dan mendustakan cinta. Bahkan seekor merpati yang tiada dikaruniai akal
pikiran menerima pasangan hidupnya atas dasar cinta. Tuhan menciptakan
mahklukNya di semesta raya ini juga atas dasar kehendak dan cintaNya. Matahari,
rembulan dan bintang bersinar karena cinta. Lautan menampung segala sisa dan
kotoran yang mengalir dari daratan dengan penuh cinta. Sungai mengalir
karena cinta. Angin bertiup karena cinta. Pohon berbuah karena cinta.
Bunga-bunga bermekaran karena cinta. Lebah meneteskan madu karena cinta. Dan
hidup ini pada asalnya adalah aliran cinta. Sumbernya adalah samudra cinta
Allah yang meliputi semesta. Dan segala benda dalam alam raya tunduk patuh menyembah
Allah juga atas dasar cinta. Bukankah kesejatian penyembahan dan kepatuhan itu
terlahir dari kedahsyatan cinta? Lalu kenapa selalu saja ada yang mengusik
hukum cinta?
Ia masih terduduk diatas sajadahnya.
Kedua matanya terpejam. Dari dua sudut matanya keluar tetesan bening seperti
embun.
Oh, haruskah aku gadaikan hidupku
ini? Pasrah tercampak tanpa mimpi mulia seperti pelacur hina yang kalah oleh
nafsunya. Hampa, pahit dan getir tanpa cinta. Oh! Bukankah lebih
baik aku mati saja jika harus menyerahkan mahkota kehormatan tanpa cinta.
Menerima pasangan hidup dengan hati perih tersiksa. Merentas hidup baru hanya
untuk mereguk nestapa selamanya. Melayani suami tanpa cinta. Terpaksa dan
tersiksa. Melahirkan anak tanpa rasa bangga. Hidup selamanya diatas derita
batin tiada tara.
Oh, jika demikian adanya, bukankah aku
lebih kalah dari pelacur itu. Mereka mereguk hidupnya atas kehendaknya, atas
pilihannya, bahkan mereka bisa begitu menikmati hidup yang dijalani meskipun
menistakan cinta. Tapi aku, aku akan hidup dalam bara belenggu keterpaksaan dan
pemerkosaan sampai akhir hayat! Kenapa aku mesti mereguk kekalahan ini?
Kekalahan untuk hidup ditinggal cinta, dipeluk kebencian dan kehinaan.
Kenapaa!? Bukankah ini azab yang tiada tara perihnya? Apakah aku memang berhak
menerima azab sepedih ini? Dosa apakah yang telah aku perbuat?
Pertanyaan-pertanyaan itu mencerca dan
menusuk-nusuk ulu hatinya. Merajam-rajam batok kepalanya. Sakit, nyeri, perih
dan pedih. Air matanya meleleh.
Ia baca sekali lagi surat penting dari
ayahnya yang dikirim dengan kilat khusus dari Sidempuan. Surat yang membuatnya
kehilangan gairah untuk hidup. Dan membuat ia begitu membenci dirinya sendiri.
Surat yang ia rasakan bagaikan vonis masuk neraka selam-lamanya. Padahal, saat
itu ia sedang menunggu hari terindah dalam hidupnya, yaitu di wisuda sebagai
dokter. Saat ia ingin mereguk manisnya madu kebahagiaan dari hasil belajarnya
selama ini. Saat ia membayangkan akan bisa merenda hari-hari indah di depan
dengan gelar yang ia peroleh. Namun, isi surat dari ayahnya itu bagai petir
yang menghanguskan semua harapannya. Memberangus mimpi-mimpinya dan
meluluhlantakkan istana cinta yang ia bangun dengan curahan jiwa untuk
menyongsong masa depannya. Kalau saja surat itu bukan dari
ayahnya. Kalau saja surat itu bukan itu isinya, Kalau saja calon yang disebut
itu bukan Roger orangnya. Oh, kalau saja ia bukan ia, tapi ia adalah debu yang
tak mungkin terbebani oleh segala bentuk tidak suka. Dadanya sesak, namun ia
tetap menekuri kata demi kata surat itu,
Anakku Niyala
Di Jakarta
Assalamu’alaikum,
Ayah di Sidempuan sehat berkecukupan,
demikian juga kakakmu, Herman. Kakakmu kini bahkan telah bekerja di kantor
kelurahan. Tidak lagi menjadi buruh tani. Sebentar lagi anaknya yang kedua akan
lahir. Ayah berharap kau di Jakarta sehat dan baik-baik saja.
Anakku Niyala,
Ayah bahagia membaca suratmu satu bulan
yang lalu. Saat kau kabarkan sebentar lagi akan di wisuda jadi dokter, ayah
menangis haru. Juga bahagia. Meski ayah tidak iku andil apa-apa, kecuali
sepotong doa. Kakakmu sangat bahagia. Dia langsung membuat acara syukuran
kecil-kecilan di rumahnya. Berita bahagia ini akhirnya menyebar. Orang-orang
sekampung ikut bahagia, sebab akhirnya dari kampung terpencil di pedalaman
Sumatra ini ada yang bisa meraih gelar dokter dari sebuah universitas negeri
ternama di Jakarta.
Anakku Niyala,
Dalam suasana bahagia ini ayah minta
tolong kepadamu. Dan ayah yakin anakku yang shalehah bisa menolong ayahnya.
Begini anakku, kabar engkau tak lama lagi menjadi dokter ternyata membuat
bahagia Pak Haji Cosmas, kepala desa kita. Beberapa hari yang lalu beliau
datang menemui ayah dan melamarmu untuk diminta menjadi istri anak bungsunya,
Roger. Kau tentu kenal Roger. Sebab waktu kecil kau pernah sekolah satu SD
dengannya.
Anakku Niyala,
Behadapan dengan Haji Cosmas ayah tiada
berdaya apa-apa kecuali mengangguk iya. Sebab terlalu banyak ayah berhutang
budi padanya. Kakakmu Herman bisa bekerja di kelurahan juga karena jasanya. Dan
ada satu jasa besar Haji Cosmas pada keluarga kita, yang mungkin baru kamu
ketahui lewat surat ini.
Begini anakku,
Saat ibumu meninggal kau masih kelas
empat SD. Ketahuilah, ibumu meninggal setelah mengidap kangker otak. Seluruh
harta yang ayah punya saat itu habis untuk biaya perawatan ibumu di rumah
sakit. Ayah berjuang habis-habisan untuk menyelamatkan nyawa ibumu. Pada saa kritis,
Pak Cosmas yang saat itu menjadi Sintua (pembantu pastor), datang
menawarkan pinjaman. Ayah tidak bisa berpikir panjang kecuali menerima tawaran
itu sepenuhnya. Yang ada dalam pikiran ayah saat itu adalah bagaimana ibumu
yang sangat ayah cintai itu selamat. Ayah dipinjami dua petak sawah. Sawah itu
ayah jual untuk pengobatan ibumu. Namun takdir menentukan lain, ibumu tetap tak
bisa diselamatkan. Saat itu ayah sudah tidak memiliki apa-apa, bahkan rumah pun
sudah ayah gadaikan. Dan Haji Cosmas datang lagi untuk menawarkan pinjaman,
ayah terima.
Ketahuilah anakku, sampai saat ini
pinjaman ini belum mampu ayah lunasi. Total hutang ayah delapan puluh juta. Pak
Cosmas masih berbuat baik tidak meminta bunga sama sekali. Namun dari mana ayah
bisa mendapat uang segitu banyaknya. Jika dihitung-hitung sudah 13 tahun lebih
hutang itu belum bisa ayah lunasi. Ayah sudah tak kepalang tanggung malunya
pada Haji Cosmas, namun apa daya ayah tidak memiliki apa-apa. Beban hutang itu
bagai paku yang menancap di ubun-ubun kepala ayah, meskipun Pak Cosmas tidak
pernah menagihnya. Ketika kau berprestasi di Jakarta dan masuk fakultas
Kedokteran, kau lah harapan yang akan menyelamatkan ayah dari derita batin yang
berat ini. Kakakmu Herman tidak bisa berbuat banyak, ia sendiri susah
menghidupi anak istrinya.
Anakku Niyala,
Ketika Pak Cosmas melamar dirimu pada
ayah, beliau bilang, jika kau nanti benar-benar menjadi istri Roger, anak
bungsunya, maka seluruh hutang ayah dianggap lunas. Bahkan ayah dijanjikan akan
dihajikan tahun depan bersama beliau. Anakku, perkataan Pak Cosmas itu adalah
gerbang kemerdekaan bagi ayah. Maka dengan penuh harap, ayah minta keikhlasanmu
untuk memerdekakan ayahmu yang tidak berdaya ini. Pada hari wisudamu,
insyaAllah ayah akan datang bersama kakakmu. Dan pada saat itu pula ayah akan
dengar jawabanmu secara langsung. Jika kau ikhlas dan setuju, ayah akan sangat
bahagia dan kita akan langsung pulang bersama ke Sidempuan untuk merembug
masalah ini dengan keluarga Haji Cosmas. Di tanah kelahiranmu kau bisa mengabdi
dan mengamalkan ilmumu. Dan orang-orang Sidempuan akan menyambutmu dengan penuh
suka cita dan kehangatan.
Mengingat pentingnya surat ini, maka
ayah mengirimkannya dengan kilat khusus. Ayah tidak memaksamu, namun
kemerdekaan ayah ada ditanganmu. Anakku, ini bisa jadi pilihan yang sulit
bagimu, tapi apa yang ayah bisa lakukan? Padahal awal bulan depan adalah jatuh
tempo hutang ayah setelah berkali-kali ayah minta kelonggaran dan penangguhan
pada Pak Cosmas.
Sekian dulu. Maafkan ayahmu, jika surat
ini tidak berkenan di hatimu.
Wassalamu’alaikum,
Ayahmu
Rusli Hasibuan
Ia memejamkan mata.
Sakit.
Seperti ada belati menghujam ke dalam
ulu hatinya.
Perih.
Seolah ada paku berkarat tertancap di
batok kepalanya.
Tulang-tulang terasa ngilu bagaikan
diremuk-remuk dengan palu godam. Dan langit-langit seakan-akan runtuh menimpa
dirinya. Ia merasa menjadi perempuan yang paling menderita didunia. Biasakah ia
menolak isi surat itu? Mampukah ia melihat ayahnya hidup tanpa kemerdekaan?
Tidak! Tidak mungkin aku mau berlaku
durhaka! Jeritnya dalam hati.
Namun memenuhi isi surat itu dan
menerima menjadi istri Roger tak ada bedanya dengan hidup terhina dan sengsara
selamanya. Tak ada bedanya dengan melacurkan diri. Menggadaikan jiwa raga untuk
menebus materi delapan puluh juta demi kemerdekaan ayah. Oh alangkah nistanya!
Ia merasa lebih pelacur dari pelacur. Lebih terhina dari perempuan yang
diperkosa seribu durjana.
Bisa jadi niatnya suci, menikah dengan
terpaksa. Tapi nuraninya terdalam mengingkari itu bukanlah pernikahan tapi
pelacuran. Bukankah imbalan pernikahan itu adalah lunasnya hutang delapan puluh
juta rupiah.
”Oh celakalah diriku, aku akan
melacurkan diriku dengan kedok pernikahan!” Ia meratap sedih. Ia belum bisa
mengakui itu pernikahan, sebab tak ada nurani cinta dan keikhlasan yang
mengiringinya. Bukankah pernikahan adalah ibadah? Dan bukankah ibadah harus
disertai kecintaan dan keikhlasan agar diterima.
Rasanya ia mau membenci ayahnya.
“Ini semua gara-gara ayah!”
Serapahnya.
Namun buru-buru nuraninya
mengingatkan bahwa ayahnya lebih menderita dari dirinya. Ayahnya rela
menggadaikan kemerdekaannya demi ketulusan cinta pada almarhumah ibunya.
Kalau bukan karena kekuatan cinta mustahil ayahnya mengorbankan semua yang
dimilikinya, termasuk kemerdekaannya. Bukankah semua yang berhutang pada
dasarnya menggadaikan kemerdekaannya? Tiba-tiba wajah ayahnya yang tirus, tua,
tulang menonjol dan mata berkaca-kaca hadir dalam batinnya. Tidak ayah, ayah
tidak bersalah! Tegasnya dalam hati.
Lalu siapa yang bertanggungjawab
atas nestapa yang sedang mengintainya bagaikan seekor serigala buas ini? Oh,
andai saja nama itu bukan Cosmas dan Roger, tentu ia tidak akan terpuruk
membenci keadaan seperti ini. Cosmas! Siapa yang tidak kenal nama itu. Sintua
yang kini masuk islam. Ya, hampir semua orang di desanya bergembira karena
Sintua kaya itu masuk Islam, dan setahun kemudian langsung naik haji. Tapi
dirinya tidak. Biasa saja. Ia hanya merasa cukup mengucapkan hamdalah mendengar
ayah Roger itu ber-syahadat. Meski ia tidak tahu persis motif keislamannya.
Namun yang jelas mantan Sintua itu masuk islam menjelang pemilihan kepala desa
berlangsung. Dan ternyata, setelah itu ia terpilih menjadi kepala desa. Tapi ia
merasa tidak perlu melihat apa motifnya. Yang penting masuk islam dan ia
mengucapkan hamdalah. Itu saja. Titik. Dan tidak ada perasaan
apapun dalam hatinya. Gembira atau tidak, sama. Biasa saja.
Lalu Roger. Nama brengsek itu. Nama
yang selalu menghidupkan bara kebencian dan kemarahan dalam hatinya. Bagaimana
mungkin ia akan menyerahkan jiwa raganya pada manusia tengik itu,
meskipun Roger katanya kini telah akrab dengan remaja mesjid di desa
kelahirannya. Apakah ia terlalu berlebihan membenci Roger, ia tidak tahu. Yang
jelas apapun yang akan dilakukan Roger tidak akan mengubah pandangannya. Roger
itu tengik, bajingan yang paling bajingan di dunia ini. Titik! Entah
kalau Tuhan menurunkan mukjizat pada Roger sehingga bisa mengubah pandangan
hatinya atas dirinya.
Ia masih ingat, waktu kecil dulu, saat
masih duduk di kelas empat SD, bagaimana Roger yang saat itu sudah kelas enam
nyaris menggagahinya di kebun sekolah. Ia nyaris kehilangan kesuciannya. Untung
ada penjaga sekolah yang menolong dan menyelamatannya. Dan kejahatan Roger itu
tidak pernah ia lupakan seumur hidup. Kebenciannya pada Roger telah mendarah
daging dan tak akan luntur meskipun Roger menjelma menjadi seorang nabi
sekalipun. Itulah kebencian seorang perempuan pada lelaki yang telah mencoba
berbuat kurang ajar dan merenggut kehormatannya.
Apalagi saat ia pulang ke Sidempuan dua
tahun yang lalu, ia mendapatkan berita yang sangat menyakitkan. Ia berkunjung
ke rumah sahabat karibnya, Hesti. Namun Hesti tidak ada. Yang ia jumpai justru
kisah tragis yang menimpa Hesti. Dari Bibi Hesti mengalirlah cerita yang
membuat perih hatinya. Hesti kini menjual diri di Brastagi. Dan Rogerlah yang
membuat Hesti melacur. Hesti dihamili Roger dengan iming-iming akan dinikahi
dan dibuatkan rumah mewah. Ternyata Roger tak lain adalah serigala berkepala
manusia, ia tidak mau bertanggungjawab setelah menodai Hesti. Keluarga Hesti
tidak berani menggugat atas apa yang dilakukan roger. Mereka semua takut pada
monster-monster yang berdiri di belakang bungsu Sintua itu. Untuk menutup aib,
Hesti mengaborsi kandungannya. Ia membawa lari lukanya ke Brastagi dan
mengobati lukanya dengan melacuran diri.
Kalau memang Roger kini telah masuk
Islam dan bertaubat, tentunya yang pertama kali harus ia lakukan adalah
memperlihatkan tangungjawabnya dengan mengentaskan Hesti dari lembah hitam itu.
Ia tidak bisa membayangkan pedihnya luka Hesti, teman sebangkunya di SD yang
manis dan lugu itu.
Jika ia pasrah mau menjadi istri Roger,
apakah luka Hesti tidak akan semakin parah? Kepedihan hati Hesti mungkin bukan
karena si bajingan itu berhasil memperistri perempuan berjilbab yang tak lain
adalah teman setia Hesti sendiri. Tapi kepedihan Hesti mungkin lebih
dikarenakan melihat betapa bodohnya seorang Niyala yang telah mengecap
pendidikan tinggi di ibukota, bahkan tertinggi di kampungnya, sampai jatuh ke
dalam pelukan makhluk tengik Roger. Dan yang menjadi ganjalan pedih
dalam pikirannnya, apakah ayah dan kakaknya tidak tahu ini semua? Apakah mereka
tidak tahu siapa Roger dan apa yang telah dilakukannya?
Ia masih bingung mencari dalang
penyebab datangnya nestapa yang siap menerkamnya itu. Tiba-tiba ia merasa
dirinyalah penyebabnya. Ya, dirinyalah penyebabnya. Kenapa ia mesti terlahir
sebagai perempuan? Perempuan yang sering harus pasrah pada nasib. Dan kenapa ia
harus berwajah cantik menawan, sehingga banyak serigala mengincarnya, termasuk
Roger.
Pelan ia bangkit dan berdiri didepan
cermin. Ia memandangi dirinya sendiri. Tiba-tiba bara amarahnya membucah dalam
dada, “Tidak! Bajingan seperti Roger tidak berhak menyentuh Niyala!”
Namun pada saat yang sama bayangan
ayahnya hadir dengan wajah tirus dan mata berkaca seolah berkata, “Tolong,
merdekakan ayah Nak! Dan bukankah menikahi Roger itu dakwah? Jangan
berprasangka buruk atas motif keislaman Roger dan ayahnya. Dengan menikahi
Roger mungkin kamu berpeluang untuk mengislamkan banyak orang. Mereka kaya raya
dan terpandang. Kau bisa berdakwah dengan baik di tanah kelahiranmu. Dan kau
juga bisa membantu orang-orang kecil yang kesusahan.”
Pikirannya beku. Bibirnya kelu.
Ubun-ubunnya bagaikan ditancap paku.
Namun
tiba-tiba ia memberontak, “Bukankah dakwawh adalah sumber cinta, Ayah!? Apakah
menikah dengan selain Roger, menikah dengan lelaki yang lebih bersih dalam
pandangannya, tidak juga dakwah!?”
Di
pelupuk matanya ayahnya menangis tersedu-sedu. Ia merasa
sangat berdosa telah berani mebantah ayahnya. Apalagi tiba-tiba tadzkirah
(nasihat untuk diingat) Ustadz Hasbiyallah terngiang di telinganya,
“Jalan dakwah tidak mudah dan mulus,
jalan dakwah itu terjal penuh hambatan, penuh onak dan duri, badai sering
datang menghadang. Berjalan di jalan dakwah memerlukan ketabahan dan
pengorbanan yang besar!”
Ia terus tergugu sendirian di kamar,
perang batinnya terus berkecamuk sampai alunan azan subuh terdengar
mendayu-dayu.
DUA
SEJAK menerima
surat dari ayahnya itu, Niyala tidak memiliki semangat hidup. Ia berpikir keras
berhari-hari. Mencari-cari jalan keluar terbaik yang bisa melepaskan dirinya
dan ayahnya dari keadaan yang menyesakkan dada itu. Namun tidak juga ia
temukan. Ia yang harus berkorban, atau ayahnya yang harus ia korbankan dengan
cara menolak mentah-mentah permintaan itu. Namun nurani terdalam sebagai
seorang anak yang mencintai ayahnya tidak sampai hati melakukan itu. Saat-saat
wisuda yang semestinya menjadi saat-saat yang sangat membahagiakan akan berubah
menjadi saat-saat paling menyakitkan. Ketekunan belajarnya selama ini tidak
akan menjadikan dirinya bahagia. Tiba-tiba ia merasa putus asa untuk
melanjutkan hidup. Ah, andai ia punya delapan puluh juta tentu semuanya akan
mudah baginya. Tapi dari mana ia bisa mendapatkan uang sebanyak itu. Ia hanya
punya tabungan dua juta, itupun sudah ia janjikan akan ia pinjamkan pada
Azizah, adik kelasnya, untuk membayar semesterannya.
Niyala
termenung di kamarnya. Sejak kedatangan surat itu, ia jarang keluar kamar. Ia
mengisolasi diri dari dunia luar. Belasan sms masuk namun tidak ia balas.
Memang manusia sangatlah lemah. Ia merasakan hal itu sekarang. Ada saatnya
manusia benar-benar tidak bisa berdaya apa-apa. Seperti dirinya. Seperti
mereka, ribuan gadis yang tengah diperkosa para durjana. Biasanya Cuma merintih
dan mengumpat dengan perasaan sedih tidak terkira. Tangan, kaki dan tubuh semua
telah terkunci. Dunia gelap.
Ia merasakan
ada tangan lembut mengusap air matanya yang meleleh di pipi.
“Ada apa
Anakku? Kenapa kau menangis? Umi lihat sudah empat hari ini kau tampak sedih
dan memendam masalah. Ada yang bisa Umi bantu Anakku?”
Suaranya yang
lembut itu menyadarkan dirinya. Ia tergagap. Ia mencoba tersenyum
meskipun bibirnya terasa kaku.
“Em...tidak
ada apa-apa kok Umi. Niyala tidak apa-apa. Hanya sedikit sedih teringat
Maesarah.”
”Maesarah teman
kuliahmu yang meninggal sebulan yang lalu itu?”
Ia
menganggukkan kepala.
”Oh Umi kira
ada apa. Memang kematian datang begitu saja tidak pandang usia.
Katanya Maesarah tidak sakit apa-apa. Ia meninggal begitu saja usai shalat
subuh dengan tangan masih memegang mushaf.”
”Maesarah mati
dengan usia yang sangat muda. Saat ia berada di puncak prestasinya, menunggu
diwisuda sebagai lulusan terbaik Fakultas Kedokteran tahun ini. Iya menghadap
Allah pada waktu melakukan perbuatan mulia. Usai shalat dan membaca Al-qur’an.
Aku iri padanya Umi. Tiba-tiba aku rindu padanya. Aku ingin menyusulnya Umi.
Entah kenapa hari-hari aku ingin mati seperti dia.”
Suaranya
bergetar. Saat itu ia memang ingin mati. Sebab terkadang
kematian memang menjadi solusi atas banyak persoalan manusia. Dan sering kali
kematian menjadi pilihan yang dianggap paling tepat dan membahagiakan.
”Kau jangan
berkata begitu, Anakku! Hidup dan mati ada ditangan Allah. Mengingat kematian
memang baik. Tapi kau jangan mengharap yang tidak-tidak seperti itu. Masa
depanmu masih panjang. Hidupmu masih diperlukan oleh banyak orang. Masih banyak
hamba Allah yang akan memerlukan bantuanmu setelah kau jadi dokter nanti. Maka
mintalah kepada Allah agar kau dikaruniai umur panjang yang penuh berkah. Sebab
itulah sebaik-baik umur manusia.”
Kata-kata
perempuan setengah baya yang ia panggil Umi itu membuatnya tak bisa membendung
air mata. Dalam hati ia menjawab, ”Umi benar. Saat ini ada yang sedang menanti
uluran tanganku, yaitu ayah kandungku sendiri. Dan justru karena aku merasa
tidak mampu untuk mengulurkan tanganku, maka aku lebih memilih mati dengan
damai menyusul Maesarah. Dan karena aku takut dengan umur panjang yang tidak
berkah maka aku memilih mati secepatnya!”
”Kau malah
menangis, Anakku. Apakah perkataan Umi salah?”
”Tidak, Umi
benar. Terima kasih Umi.”
Telepon di
ruang tamu berdering.
”Biar Umi yang
mengangkat. Sekalian Umi mau keluar ke rumah bu Sanwar mengantar kue
pesanannya.”
Perempuan
setengah baya itu melangkah menuju keluar kamar. Niyala memandanginya dengan
mata berkucuran. Jika ia mati yang paling berat baginya adalah berpisah dengan
perempuan berhati mulia yang ia panggil Umi itu. Baginya, Umi tidak ada bedanya
dengan ibu kandungnya sendiri. Dari Umi lah ia merasakan kasih sayang yang luar
biasa. Umi sebenarnya bukan siapa-siapa baginya. Umi adalah orang lain. Tak ada
hubungan kekerabatan dengan dirinya. Umi adalah teman ibu kandungnya saat
belajar di Diniyah Puteri Padang Panjang. Ibunya mendapatkan jodoh orang
Sidempuan yaitu ayahnya. Sedangkan Umi mendapatkan suami orang Betawi. Keduanya
lantas hidup ikut suaminya masing-masing. Kata Umi, saat ibu kandungnya sakit
keras, diam-diam ibu kandungnya menulis surat wasiat kepada Umi. Isinya minta
tolong agar jika dirinya meninggal, Umi mau mengasuh puterinya Niyala dan
menganggapnya seperti anaknya sendiri. Ibunya lebih percaya pada Umi daripada
perempuan manapun yang mengasuh puterinya. Mendapat surat wasiat itu Umi
langsung terbang ke Sidempuan. Dan sampai disana tepat saat ibunya dimakamkan.
Ia pun langsung melaksanakan wasiat itu sebaik-baiknya. Kebetulan Umi tidak
punya anak perempuan.
Umi benar-benar
menganggap dirinya sebagai anaknya sendiri. Niyala merasakan itu. Ia pun
menganggap Umi sebagai ibunya sendiri. Ia belum pernah mendapatkan bentakan
atau kata-kata keras dari Umi. Umi teramat sayang padanya. Kalaulah bukan
karena pengorbanan dan kerja keras Umi ia tidak akan bisa menyelesaikan kuliah
di fakultas Kedokteran. Sejak ia datang ke rumah itu, Umi hidup hanya berdua
dengan anak lelakinya Faiq yang baru kelas enam SD. Suami Umi meninggal saat
tugas di Timor-Timur. Umi bekerja keras dengan kedua tangannya membesarkan Faiq
dan dirinya. Umi sebenarnya wanita yang cantik. Banyak lelaki yang datang
melamarnya, termasuk adik kandung suaminya sendiri. Tapi ia seorang wanita yang
setia dan berkarakter. Ia tidak bisa menerima lamaran itu. ”Cinta sejati Cuma
sekali, dan itu akan aku bawa sampai mati. Aku hanya mau jadi istri suamiku,
ayah Faiq, di dunia sampai di akhirat!” Itulah Umi yang telah mengajarinya
hidup menjadi wanita salehah. Itulah Umi yang telah mengorbankan segala yang
dimilikinya untuk dirinya. Padahal dia bukan puterinya, bukan anak kandungnya.
Ia masih ingat
saat diterima di fakultas Kedokteran. Umi tidak memiliki uang sepeserpun. Sawah
mendiang suaminya telah dijual untuk membiayai kuliah Faiq di Mesir. Akhirnya
Umi terpaksa meminjam uang ke bank. Sertifikat tanah dimana berdiri rumah
tempat ia dan Umi tinggal dijadikan jaminan. Padahal itulah satu-satunya harta
yang tersisa. Ia tidak bisa membayangkan andaikan Umi tidak bisa menyicil
angsuran ke bank. Entah apa jadinya jika rumah itu disita oleh bank. Namun Umi
seakan ingin memberikan teladan baginya bagaimana menjadi manusia yang ulet.
Manusia yang tidak hanya mengeluh saja. Manusia yang bisa memanfaatkan
kesempitan menjadi kelapangan. Sebagian uang pinjaman dari bank digunakan untuk
membiayai kuliahnya selama satu tahun. Dan sebagian lainnya digunakan untuk
usaha. Umi menyalurkan bakat dan ketrampilannya membuat kue. Dia menjual kue di
pasar. Kue Umi laris. Perlahan Umi mengembangkan usahanya membuat kue dan roti.
Pesanan terus mengalir. Angsuran bank bisa ditutup setiap bulannya. Dengan
usaha keras itulah Umi bisa membiayai kuliahnya dan sesekali mengirimkan uang
ke Mesir untuk Faiq. Saat ia membuka privat bimbingan belajar, Umi
mendukungnya. Kamar Faiq yang terletak disebelah ruang tamu dijadikan kelas.
Umi tidak mau menerima hasil yang ia dapat dari privat. Umi hanya bilang,
”Anakku, Umi
sudah sangat berbahagia kau menjadi anak yang salehah dan berprestasi. Hasil
yang kau dapat saat ini tabunglah. Nanti kau akan memerlukannya. Sebab Umi
tidak tahu ketika kau nanti menikah apakah tangan Umi masih bisa mencarikan
dananya apa tidak. Jangan kau pikirkan Umi, Anakku.”
Ia menangis
mengingat ketulusan Umi mendidik dan membesarkannya. Umi yang telah ia anggap
sebagai ibunya sendiri. Ia ingin hidup selamanya bersama Umi. Mendampingi Umi
di hari-hari tuanya. Menyayangi Umi kala ia telah renta. Tapi surat dari
Sidempuan itu menghapus semua impiannya. Saat ini ia merasa yang terbaik adalah
malaikat Izrail datang menyelamatkannya dari buah simalakama ini.
***
Tiga hari lagi
wisuda. Dua hari lagi ayahnya akan datang. Ia menghitung sisa hari seperti
seorang tahanan yang telah di vonis hukum mati menghitung sisa-sisa hidupnya.
Kenapa malaikat Izrail tidak juga datang menemuinya? Rasanya ia lebih bahagia
bertemu Izrail daripada harus bertemu ayahnya. Ia bangkit dari duduknya dan
membuka jendela kamarnya. Sinar matahari dhuha tak sehangat biasanya.
Entah kenapa? Bunga-bunga itu seperti layu. Entah kenapa? Cericit burung-burung
ia rasakan bagaikan senandung kematian. Entah kenapa? Tak ada lagi gairah hidup
yang ia rasakan. Entah kenapa?
”Niyala Anakku,
mau ikut Umi tidak?”
Suara lembut
perempuan setengah baya yang amat ia cintai itu kembali menyadarkan dirinya
dari kekosongan jiwa. Ia membalikkan badan perlahan. Mencoba tersenyum.
”Kemana Umi?”
”Ke bandara.”
”Ada apa?”
”Kakakmu Faiq
pulang.”
”Kak Faiq
pulang?!” Ia kaget.
”He eh. Kaget
ya?”
”Kok mendadak
Mi? Kenapa tidak memberitahu jauh-jauh hari?”
”Umi yang minta
dia pulang seminggu yang lalu.”
”Kenapa Mi?”
”Sudah, nanti
saja di jalan Umi ceritakan. Sana cepat bersiap-siap. Pesawatnya landing
jam sepuluh.”
Mata Niyala
berbinar. Ada sedikit cahaya di dadanya. Sudah tiga tahun ia tidak melihat
kakaknya. Terakhir dia melihat saat pulang usai menyelesaikan S1 dari Al-azhar.
Setelah itu kembali lagi ke Mesir. Lalu kabarnya terbang ke Inggeris. Tiba-tiba
dia mau datang. Oh, apakah dia datang untuk melihatnya terakhir kali sebelum ia
pergi untuk selamanya.
Dengan
menumpangi taksi keduanya meluncur ke bandara. Sang sopir begitu gesit memilih
jalur-jalur yang tidak macet. Namun tetap saja sesekali macet. Setidaknya
dengan keahlian sang sopir mereka berdua tidak terjebak kemacetan yang fatal.
”Katanya Umi
mau menceritakan kenapa kak Faiq disuruh pulang?”
”Begini, yang
menyuruh Faiq pulang itu Umi. Karena banyak hal yang harus ia lakukan disini.
Minggu-minggu ini adalah minggu-minggu bersejarah. Pertama. Kamu akan di
wisuda. Kalian berdua adalah kakak beradik yang harus saling menghargai sejarah
masing-masing. Kakakmu harus pulang, sebab ia mampu untuk pulang. Kakakmu harus
menyaksikan adiknya mengenakan toga dan mengawali hidup sebagai seorang dokter.
Inilah momen paling bersejarah bagi Umi, juga bagimu. Umi sangat bahagia. Umi
sudah lama menunggunya. Kedua, kau kenal sama Diah kan?”
”Diah yang mana
Umi?”
”Itu Diah
Pramestaningrum, saudara sepupu Faiq, puterinya tante Astrid.”
”Oh...mbak Diah
yang sekolah di Australia itu?”
”Iya.”
”Terus
hubungannya apa Mi dengan kepulangannya kak Faiq?”
”Diah sudah
selesai S2 nya. Setengah bulan yang lalu dia pulang. Dia sudah pakai jilbab
sekarang?”
”Alhamdulillah.”
”Tante Astrid
beberapa waktu yang lalu menelpon. Diah ingin bertemu Faiq. Katanya,
Diah diam-diam mencintai Faiq, sejak mereka bertemu satu tahun yang lalu.”
“Setahun yang
lalu? Dimana mereka bertemu Mi?”
”Di London.
Saat itu Diah sedang mengumpulkan data untuk penulisan Tesisnya dibeberapa
perpustakaan disana. Satu bulan setengah Diah disana. Dan selama disana, Diah
dibantu sama Faiq. Disitulah rupanya diam-diam tumbuh bibit-bibit cinta dalam
hati Diah.”
”Kok kak Faiq
nggak cerita ya Mi?”
“Iya, Umi baru
tahu juga kemarin dari Tante Astrid. Jadi begitulah, kakakmu aku suruh pulang.
Aku ingin dia cepat berkeluarga. Aku ingin menimang cucu. Menurut Umi, Diah
cocok untuk Faiq. Sama-sama sudah S2 dan sama-sama dari luar negeri.
Menurutmu bagaimana Niya?”
Niyala
tersenyum. Cerita dari Umi membuat hatinya gembira. Ia melupakan
sesaat nestapanya.
“Cocok sekali
Mi. Kak Faiq kan gagah, tampan dan cerdas. Terus mbak Diah itu kan cantik dan
cerdas. Sebelum ke Australia saja pernah jadi foto model. Sekarang pakai jilbab
lagi. Pasangan yang serasi Mi. Aku malah jadi penasaran ingin bertemu mbak
Diah, seperti apa dia kalau pakai jilbab?”
Umi tersenyum
dengan hati berbunga-bunga.
”Aku bawa
fotonya, kau mau lihat?”
”Benarkah Mi. Mana?”
Umi membuka
tasnya. Dan mengambil selembar foto lalu menyerahkan pada Niyala.
“Wah, sangat
cantik dan anggun Mi. Sangat cocok untuk kak Faiq. Sangat pas jadi mantu Umi.
Dulu saja, waktu masih jadi foto model dan belum ke Australia mbak Diah itu
orangnya ramah, santun dan enak diajak bicara. Apalagi sekarang dia sudah pakai
jilbab.”
“Umi memang
berharap keduanya saling cocok. Umi akan sangat berbahagia jika Faiq
menikah dengannya. Kemarin Umi sudah main ke rumah Tante Astrid dan sudah
bertemu dengan Diah. Dia sangat baik, lembut dan santun. Penampilannya anggun,
jilbabnya rapat.”
”Kenapa Umi
tidak mengajak Niya?”
”Saat itu kau
tidur pulas dikamarmu Nak. Umi tak mau mengganggu tidurmu. Kalau mau main
kesana lain kali juga masih ada waktu. Jangan Kuatir.”
Jawaban polos
itu mengingatkan Niyala pada dukanya. Yah....Surat dari Sidempuan itu yang
membuatnya beberapa hari ini kehilangan gairah hidup. Ia lebih sering
tidur. Ia memang suka melarikan masalah dengan tidur. Biasanya, setelah tidur
kepalanya akan terasa lebih enteng. Tapi, untuk masalah kali ini, semakin
banyak tidur kepalanya semakin berat. Ia meneteskan air mata. Ia memandangi
foto Diah di tangannya lekat-lekat,
”Kau gadis yang
sangat beruntung mbak Diah. Oh, andai aku seberuntung dan secantik dirimu.”
Lirihnya sambil memejamkan mata.
Perkataannya
itu ternyata didengar Umi.
”Kenapa kau
menangis Niya? Kenapa kau berkata begitu, Anakku? Ada apa sebenarnya?
Kau itu gadis yang sangat cantik Anakku. Sejatinya kau lebih cantik dari Diah.
Kau juga sangat cerdas. Sebentar lagi kau jadi dokter. Dan kau menangis merasa
masih kurang beruntung. Kau masih memiliki impian apalagi Anakku? Jika Umi
mampu, maka Umi akan mewujudkannya. Kau adalah anakku. Umi tidak mau kau merasa
tidak beruntung. Kalau Umi masih kurang dalam memberikan sesuatu kepadamu, Umi
mohon maaf Anakku. Memang hanya seperti ini Umi mampu.
Jawaban Umi
yang disertai isak itu membuat jiwa Niyala terasa diremas-remas. Ia sangat
takut perkataannya yang lirih itu melukai hati perempuan yang sangat ia cintai
melebihi siapa saja itu.
”Maafkan Niya
Umi. Bukan itu maksud Niya. Niya sangat bersyukur dan merasa sangat beruntung
hidup dalam asuhan dan bimbingan Umi. Umi telah memberikan segalanya pada Niya.
Tadi itu Niya hanya sedikit iri pada mbak Diah. Mbak Diah akan mendapatkan
seorang suami yang baik, saleh, setia dan bertanggungjawab. Niyala juga ingin
mendapatkan suami yang baik, saleh, setia dan bertanggungjawab seperti kak
Faiq. Wajar kan Mi?”
Umi langsung
menarik Niyala ke dalam pelukannya. Dan dengan suara pelan penuh kasih
sayang ia berkata,
”Umi percaya
kau akan mendapatkan suami yang saleh. Kakakmu pernah bilang pada Umi, bahwa
dia memiliki banyak teman yang saleh dan pintar. Nanti kalau kakakmu sudah
pulang, Umi akan minta padanya untuk menunjukkan temannya yang paling saleh,
pintar, gagah dan bertanggungjawab. Dan kau akan jadi gadis yang sangat
beruntung. Memang benar, gadis yang beruntung adalah yang mendapatkan seorang
suami saleh yang baik, setia, bertanggungjawab dan patut diteladani oleh istri
dan anak-anaknya.
Tangis Niyala
semakin menjadi-jadi. Ia ingin membuka segala yang
menimpanya. Tapi ia tidak tega pada Umi. Umi sudah terlalu besar berkorban
untuk dirinya. Ia tahu bahwa Umi rela mengorbankan apa saja untuk dirinya.
Nyawa sekalipun. Namun, ia tidak mungkin meminta pengorbanan yang lebih lagi.
Ia hanya menangis dan menyimpan lukanya dalam hati, sedalam-dalamnya.
TIGA
KEPULANGAN Faiq memang
membuat Umi sangat berbahagia. Anak lelakinya itu benar-benar gagah dan tampan
seperti almarhum ayahnya. Senyumnya memikat. Nada bicaranya enak. Bacaan
Al-qurannya saat mengimami shalat magrib sangat indah dan enak di dengar. Malam
itu Umi memanjakan putranya itu dengan memasak menu favoritnya, yaitu nasi tim,
semur ayam, dan sambal ikan tenggiri. Faiq makan dengan lahapnya seperti
seorang pengungsi yang belum makan selama tiga hari. Umi tersenyum bangga
anaknya menyukai masakannya. Niyala juga tersenyum melihat cara makan kakaknya
yang tidak berubah. Yaitu langsung dengan tangan kanan, tanpa sendok.
“Entah kenapa, kalau makan semur
ayam pakai sambal ikan tenggiri rasanya tidak mantap kalau tidak langsung
dengan tangan.” Seloroh Faiq disela-sela makannya.
Usai makan mereka bertiga menuju ruang
ke tamu. Meskipun tadi sore sudah berbincang panjang kesana kemari. Dan Faiq
juga sudah banyak menceritakan pengalamannya yang mengasyikkan, tapi Umi dan
Niyala masih ingin mendengarkan Faiq bercerita lagi. Faiq pun
kembali bercerita, kali ini tentang pengalaman liburannya ke Istambul, Turki.
Tentang indahnya teluk Bosporus. Masjid Aya Shofia. Universitas Istambul. Makam
Abu Ayyub Al-Anshari. Tarian kaum tarekat Jalaluddi Ar-rumi. Dan lain
sebagainya.
“Oh ya lupa. Ini Faiq belikan jilbab
sutera asl dari Turki. Yang hijau muda untuk Niyala. Dan yang hijau tua untuk
Umi.”
Niyala menerima jilbab berbatik emas
khas Turki itu dengan mata berbinar-binar. “Wah, jazakallah Kak. Indah
sekali.” Niyala langsung memakai jilbab itu menutupi jilbab putihnya. “Gimana
Kak? Bagus nggak?”
“Wah anggun sekali, Anakku!” Puji Umi dengan
pandangan takjub.
“Dasar orangnya sudah cantik ditambah
dengan jilbab Turki itu, wow luar biasa, dikau tampak seumpama bidadari yang
turu dari surga Niyala. Cahaya pesonamu mengalahkan cahaya yang dipantulkan
oleh mentari siang hari!” Sahut Faiq. Wajah Niyala merona mendengar pujian
kakak angkatnya itu. Kesukaan kakaknya bercanda dengan nada puitis tidak juga
hilang. Namun entah kenapa ia sangat suka dengan pujian-pujian kakaknya yang
seperti menggombal itu. Atau mungkin pada dasarnya semua wanita suka dipuji,
meskipun dengan sedikit menggombal.
“Duhai, siapakah gerangan pangeran yang
akan menikmati kesejukan cahayamu? Siapakah dia yang akan berbahagia
mendapatkan kesucian jiwa ragamu? Duhai, alangkah bahagianya di!” Sambung Faiq
dengan senyum mengembang.
Umi pun tersenyum melihat polah
puteranya yang beraksi seperti bintang sinetron kasmaran itu. Namun Niyala
mendengarkan pujian terakhir kakaknya itu justru bagaikan disengat
kalajengking. Seketika kebahagiannya pudar. Wajahnya pucat. Air matanya meleleh,
Ia teringat kembali dengan isi surat dari ayahnya. Ia teringat
dengan Roger yang akan menari-nari kegirangan jika di sampai mau jadi istrinya.
Perubahan wajah dan air mata Niyala ditangkap oleh Faiq. Seketika Faiq
tergagap.
Lho Niyala, kenapa? Apakah ada yang
salah dengan kata-kata kakak? Apakah gurauan kakak menyinggung perasaanmu?”
Tanyanya pelan.
Niyala mengusap air mata dengan
punggung tangannya. Ia mencoba tersenyum. ”Tidak kak. Niyala tidak apa-apa.
Niyala tidak tersinggung. Niyala justru bahagia sekali dengan pujian yang kakak
berikan. Sangat bahagia sampai Niyala menangis.”
”Alhamdulillah kalau begitu.
Kirain kau tersinggung. Kau bahagia dengan pujian kakak. Maka kebahagiaan itu
tidak gratis. Ada harganya.”
”Maksud kakak?”
”Kau harus membayar pujian kakak yang
membuatmu bahagia dengan melakukan sesuatu yang membuat kakak senang. Begitu.”
”Apa yang ingin Niyala lakukan sehingga
kakak senang?”
”Umi sudah membuatkan menu istimewanya.
Kamu juga harus membuatkan menu istimewa untuk kakak. Kau tahu kan, sudah tiga
tahun kakak tidak merasakan nasi goreng spesial buatanmu. Kakak ingin besok
pagi sarapan dengan nasi goreng spesial buatanmu. Gimana?”
”Oh itu. Beres bos. Jangan kuatir!”
Mereka terus berbincang dan bercanda
sampai larut malam. Malam itu Umi dan Niyala menerima cukup banyak oleh-oleh
dari Faiq. Ada tas tangan yang bagus yang sempat ia beli di Paris. Leontin
kristal dari Italia. Jilbab Turki. Cincin cantik. Sandal kulit warna putih
gading yang modis. Dan kebaya khas Malaysia. Selain itu Faiq membelikan gaun
pengantin khas Turki yang sangat indah untuk Niyala.
”Ini kakak belikan spesial untuk dirimu
Dik. Untuk kau pakai suatu saat nanti, saat kau jadi pengantin.” Kata Faiq
sambil tersenyum.
”Wow indah sekali Kak. Rapat menutup
aurat dan islami. Kakak sepertinya tahu saja seleraku. Terus, untuk calon
istri kakak mana?” Tanya Niyala.
”Jangan kuatir. Kakak sudah
mempersiapkan gaun pengantin yang tak kalah indahnya.”
Umi tersenyum bahagia mendengar dialog
itu. Dua anaknya memang telah dewasa dan sudah saatnya menikah. Niyala merasa
sangat bahagia menerima hadiah dari kakaknya itu. Karena ternyata, kemana pun
Faiq pergi tidak pernah melupakan Umi dan dirinya..
Tiba-tiba telpon berdering. Faiq yang
paling dekat langsung mengangkatnya.
”Hallo? Ya? Wa’alaikum
salam. Oh Mas Herman. Dimana sekarang Mas? Oh ya ya. Ba’da
Subuh? Ya ya. Tapi agak siangan dikit nggak apa-apa Mas ya? Saya jemput jam
delapan lah, iInsya Allah. Wa’alaikum salam!”
Mendengar suara Faiq menjawab telpon
itu wajah Niyala langsung pucat. Herman itu pasti kakaknya. Dan dia menelpon
minta dijemput. Ia merasa detik-detik kematiannya semakin dekat.
“Siapa Iq?” Tanya Umi.
“Masya Allah Mi. Kebahagiaan
kita rasanya memang lengkap. Ini pak Rusli, ayahnya Niyala dan Herman kakaknya
mau datang. Mereka tadi menelpon dari Bakauhuni. Nanti subuh
mereka, insya Allah akan sampai di terminal Pulau Gadung. Mereka lupa
caranya ke rumah kita ini, jadi minta dijemput. Ya saya bilang, insya Allah jam
delapan sampai di pulau Gadung.”
“Baguslah kalau begitu. Memang itu yang
kuharap. Aku ingin Pak Rusli Hasibuan menyaksikan puterinya di wisuda jadi
dokter. Kalau begitu kita istirahat dulu, sudah larut.” Tukas Umi sambil
bangkit dari duduknya.
“Lha aku tidur dimana dong? Kamarku
jadi kelas. Masak aku harus tidur di kelas? Bu guru harus bertanggung jawab
dong!” Rajuk Faiq pada Niyala yang sedang bergulat dengan rasa sedihnya. Niyala
menundukkan kepala seolah tidak mendengar gurauan Faiq.
”Malam ini Niyala biar tidur sama Umi.
Kau tidur saja di kamar Niyala.” Seloroh Umi sambil melangkah ke kamarnya.
Niyala masih menunduk diam. Faiq
memperhatikan dengan seksama kelakuan gadis berjilbab putih yang telah
dianggapnya seperti adiknya sendiri itu. Sepertinya ada sesuatu didalam diri
Niyala. Ia mendekati Niyala dan berkata,
”Kok diam saja. Ada apa? Nggak ikhlas
ya kakak tidur di kamarmu. Ya sudah, kalau tidak ikhlas kakak tidur di ruang
tamu saja. Jangan sedih, santai saja!”
Niyala mengangkat mukanya dan memandang
kakaknya dengan senyum yang ia paksakan. ”Hanya adik yang jelek yang tidak
ikhlas. Sudahlah, kakak tidur saja di kamar Niya, kakak kan capek, perlu tempat
istirahat yang nyaman, Niya biar sama Umi. Dan... jangan kuatir, Bu guru akan
bertanggung jawab. Besok kelas itu akan kembali menjadi kamar yang nyaman
seperti sedia kala.”
Jam dinding menunjukkan pukul setengah
satu malam. Umi sudah merebahkan badannya. Kedua matanya telah terpejam. Niyala
rebah disampingnya, namun matanya tidak mau dipejamkan sedikitpun jua.
Sementara Faiq memasang jam beker lalu rebah di kamar Niyala dan langsung
terlelap.
***
Air mata Niyala terus mengalir
membasahi kedua pipinya. Ia tak bisa memejamkan matanya sedikitpun. Ia juga
tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Selain menangisi nasibnya, ia
benar-benar tidak bisa mengambil keputusan. Ia tidak bisa menyerahkan dirinya
menjadi istri Roger yang pernah mencoba memperkosanya dan telah menodai teman
karibnya. Ia tidak bisa memaafkannya meskipun Roger datang menyembah
dihadapannya. Namun ia tidak kuat melihat ayahnya disiksa oleh hutang-hutangnya.
Ia tidak tega kalau sampai ayahanya diperkarakan oleh Haji Cosmas dan
dipenjarakan. Ia ingin menjadi anak yang berbakti pada orang tua. Juga istri
yang berbakti pada suaminya. Istri yang mencurahkan segenap cinta dan kasih
sayang pada suaminya.
Apa jadinya kalau dirinya sampai
menjadi istri sei bangsat Roger itu. Ia tidak bisa membayangkan jika hidup
dalam bara neraka selama hayatnya. Orang bijak mengatakan, ’Jika malam telah
memuncak pekatnya, tak lama lagi fajar akan terbit’. Apakah kepedihan yang ia rasakan
ini adalah puncak pekatnya malam yang tak lama lagi fajar akan terbit? Ataukah
baru tenggelamnya matahari dan ia masih akan menemui saat-sat kelam yang paling
mengerikan? Saat-saat itu adalah saat-saat ia terpasung dalam ketidakberdayaan
menjadi bulan-bulanan Roger. Saat-saat ia dalam situasi yang mengerikan,
bagaikan seekor Domba yang sedang sekarat dalam belitan ular Phyton yang
kelaparan. Dan pada saat fajar terbit, dirinya telah kehilangan segalanya.
Bahkan kemanusiaan dan keimanannya.
Ia takut sekali hal itu akan terjadi.
Ia takut sekali akan kedatangan ayahnya, ia tak kuasa untuk menolak permintaan
ayahnya. Entah kenapa kedatangan ayahnya ia rasakan sebagai kedatangan seorang
algojo yang akan melemparkannya ke alam yang menakutkan. Ayahnya akan menyeretnya
ke Sidempuan seumpama tawanan perang yang tiada berdaya apa-apa. Keringat
dinginnya keluar. ”Ya Rabbi, ampunilah segala dosaku. Janganlah hamba-Mu yang
lemah ini Engkau coba dengan ujian yang hamba tidak kuat memikulnya. Ya
Mughitsu, aghitsni (wahai Tuhan Yang Mahamenolong tolonglah aku).
Jam beker di kamarnya berdering keras. Lalu mati.
Ia mendengar suara derit pintu. Lalu kecipak air. Ia menatap jam dinding. Pukul
tiga. Tak lama kemudian ia mendengar suara alunan surat Fatihah dan lantunan
ayat-ayat suci Alquran. Suaranya begitu jernih. Fasih. Tartil. Indah. Menyentuh
hati yang mendengarnya. Setelah empat tahun di Mesir, bacaan Alquran kakaknya
itu semakin indah. Ah, kak Faiq dalam keadaan lelah dari perjalan jauh masih
juga bangun tengah malam. Alangkah bahagianya dia yang menjadi istrimu. Tiap
malam bisa tahajjud bersama. Menangis bersama di hadapan Allah. Lalu anakmu
sesekali diajak ikut serta. Rumahmu penuh cahaya Qurani. Baunya harun wangi
kesturi. Alangkah indahnya. Air mata Niyala tiada henti mengalir. Bantalnya
basah. Dan diriku. Ia kembali berkata pada dirinya sendiri dalam hati. Alangkah
malangnya jika menjadi istri Roger yang pernah jadi mucikari itu, yang mungkin
sampai sekarang masih jadi mucikari. Hidup dalam kegelapan. Hidup akan teramat
malang jika rumahku pada akhirnya dijadikan rumah bordil. Aku dipaksa menjadi primadonanya.
Sungguh mengerikan. Hidup tanpa cinta. Rumah pengap penuh bau busuk dan daging
para pezina. Na’udzubillah.
Suara Faiq yang merdu dan tartil
menarik Niyala untuk bangkit. Ia berdiri dan melangkah keluar kamar untuk
mengambil wudhu. Lalu ke kamar Umi untuk memakai mukena Umi. Lantas mengambil
sajadah dan menggelar didepan pintu kamarnya yang sedikit terbuka. Faiq masih
berdiri dalam shalatnya. Ia larut dalam tadabbur ayat-ayat yang ia baca. Ia
sama sekali tidak tahu bahwa diluar kamar Niyala ikut makmum dan menyimak
bacaannya dengan penuh khusyuk.
Faiq selesai membaca surat An-nuur.
Ia tetap berdiri dan langsung melanjutkan dengan membaca surat Al-Furqan. Ayat
demi ayat ia baca. Sesekali terdengar isak tangisnya. Niyala yang makmum
dibelakangnya ikut menangis. Sampailah ia pada ayat enam puluh lima dan enam
puluh enam :
Wal ladziina yaquuluuna Rabbanashrif
‘anna’ adzaaba jahannam. Inna ‘adzaabaha kaana gharaama. Innahaa
saa’at mustaqarraw wamuqaama! (”Dan orang-orang yang berkata ’Ya
Tuhan kami jauhkan azab jahannam dari kami, seungguhnya azab itu adalah
kebinasaan yang kekal. Sesungguhnya jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat
menetap dan tempat kediaman.”)
Ia mengulang-ngulang ayat itu dan
menangis tersedu-sedu. Niyala juga terisak-isak. Ayat itu sungguh menggetarkan
hati. Faiq meneruskan bacaannya. Huruf demi huruf ia baca dengan tartil. Ketika
sampai pada ayat tujuh puluh empat :
Wal ladziina yaquuluna Rabbana hab lana
min azwaajina dzurriyatina qurrata a’yuniw waj’alna lil muttaqiina imaama (”Dan
orang-orang berkata ’Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami
dan keturunan kami sebagai penenang hati (kami) dan jadikanlah kami imam bagi
orang-orang yang bertaqwa.”)
Faiq membacanya dengan penuh
pengahayatan. Dan mengulang-ulangnya dengan penuh perasaan. Lagunya
terkadang seperti merayu pada Tuhan. Terkadang seperti merengek-rengek. Dan
terkadang terdengar sangat mengharukan sekali. Niyala tahu persis makna ayat
yang dibacakan Faiq. Tak ayal ia terisak-isak sampai nafasnya tersengal-sengal.
Ayat itu begitu dahsyat mengambil seluruh perasaannya. Faiq meneruskan
perasaannya. Begitu selesai surat Al-Furqan ia rukuk. Lalu sujud
dengan air mata berderai. Pada rakaat kedua ia membaca surat Asy-Syuara lima
puluh ayat. Setelah salam ia duduk istirahat. Hatinya tiada henti bertasbih. Ia
menghentikan tasbihnya kala daun telinganya mendengar isak tangis di luar
kamar. Ia bangkit dan membuka pintu kamar. Ia terhenyak melihat Niyala duduk
diatas sajadah dengan menutup kedua tangan pada mukanya. Isaknya tersedu-sedu.
Ia terhenyak sesaat, hatinya tersentuh dengan apa yang dilihatnya. Ternyata
adiknya juga bangun malam dan shalat dibelakangnya. Ia kembali ke tempatnya
semula. Dan bermunajat kepada Rabbnya. Selesai munajat ia berkata pada adiknya
dengan suara halus,
“Dik Niya!”
“Ya Kak!” Jawabnya dengan suara
bergetar.
“Masih mau makmum?”
“Insya Allah.”
“Sekarang witir. Dua rakaat lalu satu
rakaat!”
Faiq takbiratul Ikhram. Niyala
mengikutinya. Untuk shalat witir ia tidak membaca surat yang panjang seperti
tahajjud. Tak lama kemudian shalat witir itupun selesai. Setelah berdoa sesaat,
faiq kembali merebahkan badannya. Sementara Niyala terus menangis di atas
sajadahnya.
***
Usai shalat subuh Umi memanggil Faiq
dan Niyala untuk berkumpul di ruang tamu. Umi membuka pembicaraan,
”Ini adalah hari-hari bahagia bagi Umi.
Puteraku Faiq sudah selesai S2nya di London dan puteriku Niyala besok pagi,
InsyaAllah akan diwisuda. Di hari yang penuh kebahagiaan ini Umi ingin
membicarakan hal penting pada kalian.”
“Apa itu Umi?” tanya Faiq.
”Faiq, apakah kau tahu kenapa kau
kuminta pulang?”
”Pasti untuk melihat wisuda Dik Niyala.
Iya kan Mi?”
”Ada yang lebih penting dari itu.”
”Apa itu Mi?”
Umi lalu menceritakan masalah Diah
panjang lebar. Setelah dianggap jelas lalu Umi bertanya, ”Bagaimana pendapatmu
Anakku? Apakah kau bisa menerima Diah sebagai pendampingmu?”
Faiq terdiam sesaat lalu dengan
menundukkan kepala ia menjawab, ”Ananda ikut Umi. Jika menurut Umi baik maka
menurut Ananda juga baik. Yang paling penting bagi Ananda adalah ridha Umi.”
Umi meneteskan air mata.
“Aku bahagia sekali mendengar
jawabanmu, Anakku. Tiga hari lagi Tante Astrid dan Diah akan dolan kemari.
Untuk selanjutnya nanti bisa dibicarakan bersama dengan lebih matang. Yang
kedua ini masalah Niyala.”
”Ada apa dengan aku Umi?” Tanya Niyala
sedikit kaget.
”Begini. Kau sudah Umi anggap seperti
anakku sendiri. Dan kau sudah bisa mengerti apa yang Umi rasa. Aku ingin kau
menemani Umi di rumah ini sampai akhir hayat Umi. Kau nanti bisa buka praktek
di rumah ini. Kaulah yang Umi harap merawat hari tua Umi. Apakah kau mau
Niyala?”
Niyala terhenyak, “Insya Allah. Jika
Allah menghendaki dan jika Kak Faiq mengizinkan.”
“Bagaimana Faiq? Rumah dan tanah
sepetak ini memang hakmu. Kaulah ahli waris ayahmu. Jika nanti ditempati Niyala
bagaimana, apakah kau ikhlas?”
“Aduh Umi. Sudahlah, pokoknya apa yang
paling baik menurut Umi, yang paling membahagiakan Umi, Ananda akan patuhi dan
Ananda penuhi. Ananda ikhlas lahir batin. Niyala bukan orang lain lagi.”
“Alhamdulillah. Kalau begitu masalahnya
selesai.”
Setelah itu Niyala ke dapur untuk
membuatkan nasi goreng. Sementara Faiq mengutak-atik laptopnya. Tak lama
kemudian sarapan siap. Mereka bertiga menyantapnya dengan santai. Berulang kali
Faiq memuji kehebatan Niyala membuat nasi goreng. Ia sampai tambah tiga kali.
Hati Niyala senang melihat kakaknya makan masakannya dengan begitu rakusnya.
Usai sarapan Faiq dan Niyala meluncur dengan taksi ke Pulo Gadung.
Selama dalam perjalanan ke Pulo Gadung
Niyala tidak bisa menahan tangisnya. Mukanya tampak begitu pucat dan sedih.
Sebelum sampai di Pulo Gadung, Niyala mengajak Faiq turun. Faiq pun menurut
dengan perasaan bingung. Apa sebenarnya yang terjadi pada Niyala? Firasatnya
menangkap sesuatu telah terjadi pada Niyala. Dan tangisnya bukan tangis
bahagia.
“Niyala, kakak merasa kau sedang
menyimpan masalah besar yang kau tidak kuat menanggungnya. Kau telah
menyembunyikan sesuatu dari kakak. Kau menangis sedih tapi kau tidak mau
mangakuinya.”
Niyala diam. Ia sesunggukan. Ia tidak
tahu harus berbuat apa dan harus berkata apa pada orang yang telah ia anggap
sebagai kakaknya.
“Kalau kau masih menganggap kakak
sebagai orang lain ya pendamlah masalahmu itu. Karena kau tidak lagi percaya
bahwa kakak bisa membantumu atau setidaknya meringankan bebanmu. Kakak ingin
kau bahagia dan tidak sedih, sebab Umi sangat ingin kau bahagia. Tapi kalau kau
tidak memberikan kesempatan pada kakak untuk membantumu, kakak bisa berbuat
apa?”
Kata-kata Fiaq mulai masuk ke dalam
hati Niyala. Gadis berjilbab biru pun merasa tidak sanggup lagi menanggung
beban pikiran ini sendirian. Akhirnya ia buka suara,
”Niyala punya masalah serius dan Niyala
tidak kuasa lagi menanggungnya. Niyala juga belum menemukan jalan keluar yang
tepat. Niyala sangat sedih, sebab ini menyangkut hidup mati Niyala.”
”Masalah apakah itu? Apakah Umi
benar-benar tidak tahu?”
”Niyala tidak ingin Umi tahu.
Pengorbanan Umi sudah terlalu besar pada Niyala. Niyala tidak mau lagi
menyusahkan beliau.”
”Apakah kakak boleh tau masalahnya?”
”Dengan satu syarat.”
”Apa itu?”
”Tidak memberitahukan masalah ini pada
Umi.”
”Baiklah.”
Niyala lalu menceritakan perihal surat
dari ayahnya secara terperinci. Juga tentang Haji Cosmas dan anak bungsunya
Roger. Siapa mereka dan apa yang telah mereka perbuat. Lalu dengan terisak
Niyala meluapkan segala kecemasan, kekuatiran, ketakutan dan kebingungan. Ia
tidak bisa memberikan keputusan yang tepat. Ia tidak mau jadi istri Roger,
namun juga tidak mau menjadi anak durhaka. Faiq mendengarkan segala penuturan
adiknya dengan mata berkaca-kaca. Adiknya dalam kesulitan yang serius.
”Selepas shalat tahajjud tadi malam,
terlintas dalam benak Niyala sebuah solusi yang mungkin bisa mengatasi masalah
ini. Namun itu perlu bantuan kakak.” kata Niyala.
”Solusinya bagaimana?”
”Niyala sudah menemukan cara untuk
mendapatkan uang delapan puluh juta. Namun perlu waktu. Dan Niyala perlu
bantuan kakak untuk menolak lamaran Pak Cosmas. Kalau Niyala sendiri yang
ngomongnya, Niyala tidak sampai hati. Niyala minta tolong pada kakak agar
bersedia menjelaskan pada ayah, bahwa saya tidak mungkin menikah dengan Roger.”
”Terus, kalau ditanya alasannya kenapa
bagaimana?”
”Bilang saja Niyala sudah punya calon
sendiri. Pokoknya dengan bahasa yang sebijaksana mungkin dan jangan sampai ayah
terluka. Juga jelaskan kalau Niyala akan mengusahakan pelunasan uang delapan
puluh juta itu sebelum tanggal jatuh tempo.”
”Kalau boleh kakak ingin tanya
bagaimana kau akan mendapatkan uang sebanyak itu?”
”Terus terang kak, Niyala belum tahu.
Tapi Niyala akan berusaha sekuat tenaga. Untuk masalah ini, sekali lagi Niyala
tidak mau menjadi pikiran Umi atau kakak. Biarlah Niyala nanti berusaha
sebaik-baiknya.”
”Tapi kakak tidak bisa berbohong,
Adikku.”
”Maksud kakak?”
”Tidak mungkin kakak mengatakan kau
punya calon, padahal selama ini kakak tahu kau tidak punya calon. Apakah kau
benar-benar punya calon tanpa sepengetahuan kakak?”
”Bohong untuk kebaikan kan tidak
apa-apa?”
”Maaf kakak tidak bisa Dik.”
”Tolonglah kak, sekali ini.”
”Soalnya ini nanti bohongnya akan
banyak sekali. Sebab pasti akan ditanya calonnya siapa? Orang mana? Dan lain
sebagainya. Ayo bagaimana?”
”Pokoknya terserah kakak bagaimana
jawabnya. Tapi tolonglah Niyala kak. Apakah kakak rela Niyala menjadi istri
seorang mucikari?”
”Baiklah, kakak akan menolongmu. Tapi
ada dua syaratnya, bagaimana?”
”Apa itu?”
”Pertama, kau harus mencucikan pakaian
kakak selama satu bulan kakak di Jakarta. Kedua, kau harus memijit kakak nanti
malam?”
”Hah, kakak gila apa? Kalau mencuci
pakaian sih oke. Tapi kalau memijit kakak? Na’udzubillah. Apakah kakak
lupa itu tidak boleh? Kita bukan mahram. Bagaimana mungkin aku akan memijit
kakak?”
”Kakak tidak lupa. Nanti kakak pakai
jaket, sehingga tanganmu tidak akan menyentuh kulit kakak. Terus, pijitnya
nanti malam di ruang tamu sambil ngobrol santai bersama Umi, ayahmu dan
kakakmu. Kan tidak akan ada bahayanya. Kalau tidak mau ya sudah. Kakak juga
tidak mau menolongmu!”
Niyala menggeleng-geleng kepala.
Kakaknya ini ada-ada saja. Ia masih teringat terakhir kali ia memijit kakaknya
saat ia kelas dua SMP. Itupun cuma mijit kakinya yang terkilir saat main bola
dengan para remaja masjid. Setelah itu, ia tidak pernah lagi bersentuhan dengan
kakaknya itu.
”Tapi Cuma sekali itu kan?”
Faiq menganggukkan kepala.
”Baiklah, Niyala terima syarat kakak.”
”Okey, kalau begitu nanti kakak akan
atur bahasanya dan lain sebagainya dengan sebaik-baiknya. Sekarang
tersenyumlah, jangan sedih begitu.”
Niyala tersenyum. Faiq menatap wajah
adik angkatnya dengan seksama. Niyala tersipu. ”Yuk kita lanjutkan perjalanan.
Ayahmu sudah menunggu di masjid terminal.” Faiq menghentikan taksi yang lewat.
Ia dan Niyala lalu naik taksi dan meluncur ke Pulo Gadung.
EMPAT
KEDATANGAN Pak Rusli
Hasibuan dan Herman disambut hangat oleh Umi. Pak Rusli banyak bercerita
tentang perkembangan Sidempuan. Beliau juga banyak mengenang almarhumah istrinya
yang tak lain adalah teman karib Umi selama belajar di Diniyah Puteri Padang
Panjang. Umi banyak menceritakan prestasi dan segala kebaikan Niyala.
”Niyala sangat halus perasaannya,
sabar, tekun, penuh pengertian dan tutur bahasanya membuat siapa yang diajak
bicara akan menyukainya. Persis seperti almurhamah ibunya.” ucap Umi
mengenang.
”Yah, sifat
almarhumah yang sangat mulia itulah yang membuat saya tidak pernah luntur
mencintainya. Sudah hampir empat belas tahun dia tiada namun saya tidak bisa melupakannya.
Dan saya pun tidak pernah berpikir sampai sekarang untuk mencari penggantinya.”
Seloroh pak Rusli Hasibuan dengan mata berkaca-kaca.
Diam-diam
Niyala sangat bangga dengan kesetiaan dan rasa cinta ayahnya pada almarhumah
ibunya.
Perbincangan yang
bernuansa nostalgia yang terkadang terasa melankolis berubah warna menjadi
ceria tatkala Faiq nimbrung bicara. Faiq yang pandai melucu dan menyegarkan
suasana kembali bercerita panjang lebar tentang hidupnya selama belajar di
Mesir dan Inggris. Juga tentang pengalamannya singgah di Perancis, Italia,
Turki dan malaysia. Pak Rusli dan Herman sangat senang medengarnya. Setelah
cukup lama berbincang-bincang, Pak Rusli meminta waktu pada Umi untuk melakukan
perbincangan serius usai makan malam. Dia minta Niyala dan Faiq turut serta.
Dan malam itu. Di ruang makan
tampak lima orang duduk mengitari meja bundar. Umi duduk dekat pintu ruang
tamu. Di samping kanannya Niyala. Dan di samping kirinya Pak Rusli. Sementara
Faiq duduk tepat di samping kanan Niyala sedangkan Herman duduk di samping kiri
Pak Rusli. Mereka semua telah selesai makan. Semuanya tampak tenang, ceria dan
menikmati pertemuan di meja makan itu, kecuali Niyala . Ia sangat tegang.
Keringat dinginnya telah keluar. Sebentar lagi ayahnya pasti akan membicarakan
masalah yan ditakutinya itu.
”Pak Rusli,
katanya ada yang mau diperbincangkan. Silahkan mumpung terlihat masih segar dan
masih sore.” Umi mengawali pembicaraan.
”Iya ini ada
hal yang ingin saya sampaikan. Karena ini menyangkut dua keluarga. Yaitu keluaraga
saya dan keluarga Umi maka kita perlu bermusyawarah dengan sebaik-baiknya.”
”Apakah
masalahnya menyangkut Niyala?”
”Benar Umi.
Begini, saya tahu Umi sangat menyayangi dan mencintai Niyala layaknya anak
kandung sendiri. Dan kami sangat berterima kasih atas segala kebaikan Umi.
Namun dengan berat hati kalau Umi memperbolehkan kami ingin mengajak Niyala
pulang pulang ke Sidempuan selepas wisuda. Dia sangat dibutuhkan masyarakat
sana. Biarlah dia mengabdikan diri dan mengamalkan ilmunya di tanah kelahirannya.
Apalagi kebetulan sekali ada seorang tokoh masyarakat yang melamar Niyala untuk
anak lelakinya. Dan terus terang saya sangat susah untuk menolak lamaran itu.
Kami yakin ini masalah yang berat bagi Umi. Umi tentu berat melepas Niyala.
Namun kami dengan segala hormat mohon kebijaksanaan Umi.”
Mendengar permintaan Pak Rusli yang to the point itu hati
Umi bergetar. Setelah sedemikian dalam hatinya terikat pada anak angkatnya itu
apakah harus ia melepaskannya begitu saja. Memang ini tidak mudah baginya. Ia
sudah terlanjur sangat mencintai Niyala. Ia merasa tidak ada orang yang sehalus
dan sepengertian Niyala. Dan tadi pagi baru saja ia memberikan rumah ini pada
Niyala. Kini Niyala diminta kembali oleh ayahnya. Memang jika mengikuti isi
wasiah dari almarhumah ibu kandung Niyala maka tugas Umi sudah selesai
begitu Niyala telah tumbuh dewasa menjadi gadis yang salehah. Tak terasa ada
yang meleleh dari sudut mata Umi. Dengan suara yang terbata-bata dia berkata,
“Tidak mudah memang untuk ikhlas. Juga tidak mudah untuk
ditinggal oleh sesuatu atau seseorang yang sangat dicintai. Sesuai dengan
wasiat almarhumah ibundanya Niyala tugas saya sudah selesai. Saya tidak
bisa menahan atau meminta Niyala untuk harus tinggal di sini. Dia memiliki
kebebasan untuk menentukan jalan hidupnya. Maka yang paling bijaksana menurutku
ialah menyerahkan keputusan sepenuhnya kepada Niyala. Apakah dia akan tetap
tinggal di sini atau tinggal di tanah kelahirannya, Sidempuan. Juga masalah
pasangan hidupnya, Niyalalah yang paling berhak memilih.”
“Umi sungguh bijaksana. Anakku Niyala kau sudah dengar
sendiri apa yang dikatakan Umi. Sekarang kaulah yang memutuskan, dimana kau
akan tinggal dan mengabdikan diri?”
Niyala diam seribu bahasa. Kepalanya menunduk. Ia berharap
Faiq akan bicara menggantikan dirinya dan membereskan semuanya. Suasana menjadi
hening beberapa saat lamanya. Faiq tak juga angkat bicara. Perasaan Niyala tak
karuan kacaunya.
“Ayilah Anakku Niyala. Bicaralah. Kau bebas menentukan
pilihanmu. Seandainya pun kau memilih Sidempuan Umi ikhlas kok. Umi tetap
menganggapmu sebagai anak Umi. Umi tidak akan berubah. Kau jangan bimbang
menentukan pilihan yang kau anggap paling membuat dirimu bahagia. Di Sidempuan
sana kau akan berkumpul dengan keluarga besarmu yang sangat mencintaimu.” Ujar
Umi memecah keheningan sambil mengusap kepala Niyala.
Mata Niyala berkaca-kaca. Keringat dinginnya keluar. Kaki
kanannya dengan halus menyepak kaki kiri Faiq. Ia ingin Faiq angkat bicara.
Namun Faiq tetap diam tak bergeming dan tak bersuara. Rasanya Niyala ingin
menangis. Ia sudah tidak tahan. Bibirnya benar-benar kelu dan tak
mungkin bisa bicara dengan baik. Ia menurunkan tangan kanannya dan mencubit
paha Faiq dengan sekeras-kerasnya. Tak ayal Faiq tersentak namun ia berusaha
menahan rasa sakitnya. Faiq berdehem. Niyala melepaskan cubitannya.
”Boleh ananda
bicara Pak Rusli dan Umi?”
”O silahkan Nak
Faiq. Silahkan. Kita memang sedang bermusyawarah.” Sahut Pak Rusli, sedangkan
Umi diam saja.
”Begini, ananda
bicara atas nama kemaslahatan dua keluarga. Masalah ini sesungguhnya pernah
diutarakan Niyala pada ananda. Baik selama ananda ada di rumah, maupun selama
ananda di luar negeri. Kami tak pernah berhenti berkomunikasi. Sebenarnya
Niyala ingin sekali untuk pulang ke kampung halamannya. Niyala sangat mencintai
keluarga besarnya dan tanah kelahirannya. Namun perlu Pak Rusli, Mas Herman dan
Umi ketahui bahwa Niyala telah mencintai seseorang. Dan ia berkali-kali
berterus terang pada saya, baik secara langsung maupun melalui surat, bahwa
Niyala sangat susah hidup jika tidak bersamanya. Dan orang yang ia cintai
mungkin juga akan sangat sengsara dan bahkan bisa mati jika tidak memperistri
Niyala. Cinta keduanya telah terjalin tak kurang dari sebelas tahun. Tepatnya
sejak Niyala masuk SMP. Apakah mungkin kiranya cinta yang telah terjalin selama
sebelas tahun lamanya ini akan diputus begitu saja? Siapakah orang yang tega
memutuskannya? Dan saya tahu persis bahwa Niyala sangat menjaga kesucian
dirinya dan kesucian cintanya. Ia tidak melakukan maksiat dengan cintanya. Menurut
ananda, tindakan yang paling bijak diambil oleh Pak Rusli dan Umi adalah
merestui dan menyegerakan pernikahan adik Niyala dengan orang yang sangat
dicintainya itu. Dan saya berani menjamin bahwa orang yang dicintainya dan
mencintai Niyala akan berusaha sekuat tenaganya untuk membahagiakan Niyala.
Sebab saya tahu cinta mereka berdua sangat tulus. Ini menurut pendapat ananda.”
Muka pak Rusli pucat. Umi menangkap
perubahan itu. Umi kuatir Pak Rusli kecewa dengan dirinya. Karena dirinya tidak
bisa mengasuh Niyala. Bagaimana mungkin ia membiarkan anak SMP menjalin cinta.
Umi sendiri kaget dengan penjelasan Faiq. Ia belum yakin dengan apa yang
diutarakan anaknya itu. Dengan nada yang halus, ia bertanya pada Niyala,
”Anakku Niyala, benarkah apa yang
dikatakan oleh kakakmu Faiq?”
Niyala mengangguk. Mata Umi
berkaca-kaca. Dengan terisak ia berkata,
”Sebenarnya Umi sangat kecewa
mengetahui kenyataan ini. Kenapa masalah sepenting ini kau sembunyikan dari
Umi? Apakah kau tidak percaya pada Umi? Selama ini Umi tidak pernah
menyembunyikan sesuatu darimu Anakku. Umi sangat mempercayaimu. Apakah masih
kurang bijaksana Umi mengasuhmu, Anakku? Sekarang coba katakanlah pada Umi
siapa lelaki yang kau cintai sejak SMP sampai saat ini itu? Siapakah dia
Anakku?”
Niyala bingung. Ia tidak tahu harus
mengatakan apa-apa. Permasalahannya menjadi begitu rumit. Ia benar-benar tidak
punya jawaban. Mukanya pucat. Tubuhnya gemetar. Keringat dingin mengalir. Kaki
kanannya menyodok kaki kiri Faiq. Sesaat lamanya Umi menunggu jawaban dari mulut
Niyala tapi tidak juga keluar.
”Anakku jawablah! Siapa dia? Masalah
ini tidak akan tuntas jika Umi dan Ayahmu tidak tahu siapa orang yang kau
cintai itu. Jika lelaki itu memang pilihanmu, maka Umi akan merestuinya.
Katakanlah siapa dia?”
Niyala tidak menjawab, ia kembali
mencubit paha Faiq. Ia minta kakak angkatnya itu harus bicara. Sebab ini
semua yang membuat skenarionya dia. Jadi dia yang harus menuntaskannya.
”Begini Umi. Niyala sangat pemalu untuk
masalah seperti ini. Kalau boleh, biar ananda saja yang menjelaskan siapa orang
yang di cintai Niyala. Namun sebelumnya ananda minta Umi tidak marah bila
mendengar namanya. Apakah Umi bersedia berjanji tidak akan marah? Sebab ananda
takut Umi akan marah.” kata Faiq.
”Baiklah, Umi berjanji tidak akan
marah.”
”Nama lengkap lelaki yang dicintai
Niyala sejak SMP sampai sekarang adalah Muhammad Faiq bin Saiful Anam.”
”Apa!? Jadi yang dicintai dan mencintai
Niyala itu kau sendiri Faiq?”
Semua mata tertuju pada Faiq, termasuk
mata Niyala. Semuanya terkejut dengan pengakuan Faiq itu. Niyala sendiri tidak
habis pikir, kakaknya sampai nekad bersandiwara seperti itu. Ia sama sekali
tidak mengira kakak angkatnya akan segila itu membelanya.
’Benar Umi. Kami saling mencintai. Aku
sangat mencintai dan menyayangi Niyala demikian pula sebaliknya.”
”Aku tidak percaya dengan apa yang aku
dengar. Aku tahu kau mencintai Niyala, tapi itu cinta seorang kakak pada
adiknya. Itu bukan cinta sepasang kekasih.”
”Tidak Umi. Ananda mencintai adik
Niyala seperti seorang kakak pada adiknya juga sekaligus seperti Yusuf
mencintai Zulaikha, atau Romeo mencintai Juliet. Ini ananda berkata dengan
sejujurnya dan sebenar-benarnya. Kalau Umi tidak percaya, silahkan Umi bertanya
sendiri pada Dik Niyala.”
”Benarkah yang dikatakan kakakmu
Niyala?”
Untuk kali ini Niyala membuka suara,
”Benar Umi. Apakah Umi lupa, sebenarnya
kami bukan kakak dan adik. Dan kami bukan mahram. Kami saling mencintai, namun
kami tidak pernah melakukan hal-hal yang dapat menodai kesucian diri, hati dan
jiwa. Kami telah menitipkan rasa cinta kami kepada Dzat Yang Maha Pengasih dan
Maha Penyayang. Dan biarlah malam ini menjadi malam yang menentukan, apakah
cinta suci kami akan berlanjut ataukah akan terputus ditengah jalan.”
”Bagaimana ini Umi? Saya tidak mengerti
apa yang terjadi.” Tukas Pak Rusli bingung berbaur cemas.
”Saya juga seperti dalam mimpi Pak.
Bagaimana mungkin saya yang sering tidur satu kasur dengan Niyala sampai tidak
tahu apa yang terjadi pada dirinya.” Jawab Umi.
Niyala sendiri tidak akan tahu seperti
apa akhir dari skenario yang dirancang kakaknya itu. Yang jelas ia
sedikit merasa lega, kakaknya itu benar-benar membelanya. Untuk sementara ia
merasa selamat dari kenistaan hidup yang akhir-akhir ini menghantuinya.
”Pak Rusli, yang terjadi adalah ananda
mencintai Niyala puteri Bapak. Dan Niyala mencintai ananda. Kami sangat memohon
Bapak berkenan merestui kami untuk melaksanakan akad nikah secepatnya. Dan Umi
tidak bermimpi. Ini kenyataan Umi.” Ucap Faiq.
Tiba-tiba Herman yang sedari tadi diam
saja akhirnya berbicara juga,
”Sebaiknya ayah tidak usah pikir
panjang lagi. Restui dan ridhai saja mereka berdua. Adik Faiq ini jelas jauh
lebih baik daripada Si Roger puteranya Pak Cosmas itu. Yang paling penting
adalah kebahagiaan Dik Niyala. Jika ia menikah dengan Dik Faiq, kebahagiaan itu
jelas ada di depan mata. Mereka saling mencintai dan telah saling mengenal dan
memahami. Sedangkan jika menikah dengan Si Roger, saya tidak tahu bahagia apa
tidak Dik Niyala nanti.”
”Saya pasrah. Saya ikut pada
kebijaksanaan Umi.” Lirih Pak Rusli.
”Saya belum bisa menerima kenyataan
ini. Ini benar-benar sesuatu yang sangat mengagetkan.” Kata Umi.
”Umi, ananda mohon terimalah kenyataan
ini. Apakah saling mencintai itu dosa? Perasaan cinta itu datang dengan
sendirinya. Masuk begitu saja kedalam hati kami. Kami berdua saling mencintai
Umi. Apakah Umi rela kami hidup menderita? Apakah Umi tidak melihat bagaimana
akhir-akhir ini Dik Niyala sering menangis? Dia sangat ketakutan dan kuatir
akan kehilangan orang yang dicintainya. Adik Niyala sangat mencintai dan
menghormati Umi sehingga tidak berani untuk mengutarakan isi hatinya. Sebab
orang yang dicintainya adalah anak laki-laki Umi satu-satunya. Umi, ananda
yakin seyakin-yakinnya Umi tidak akan mendapatkan mantu yang lebih baik dari
Adik Niyala. Apakah Umi akan menyia-nyiakan kebaikan yang telah dibangun
bersama sejak lama ini?” Desak Faiq dengan nada serius. Niyala terkesima
melihat akting kakaknya yang begitu serius. Ia pun lantas mengimbangi,
”Saya sudah bersumpah tidak akan menikah
kecuali dengan Kak Faiq. Biarlah cinta ini cukup sekali dan akan aku bawa
sampai mati. Bukankah Umi telah mengajarkan dan mencontohkan hal seperti ini?”
Kalimat yang diucapkan Niyala dengan
tegas ini membuat perempuan separuh baya itu tersentak. Ia sadar, yang tengah
ia hadapi kini adalah gelombang cinta yang dahsyat. Ia harus berlaku bijak.
Jika tidak, maka penyesalan yang akan ia petik.
”Kalau memang sudah demikian bulat dan
kuat cinta kalian, Umi tidak bisa berbuat apa-apa kecuali merestui kalian. Umi
sangat mencintai kalian berdua. Meskipun Umi sangat terkejut adanya kenyataan
ini, namun Umi tetap merasa sangat bahagia bahwa kalian akan tetap hidup satu
atap dalam ikatan suci yang kuat yaitu pernikahan. Kalau begitu, malam ini juga
kita musyawarahkan hal-hal mengenai pelaksanaan pernikahan kalian.”
”Mereka berdua adalah orang-orang yang
terpelajar. Pasti mereka telah membuat rencana yang matang. Jadi kita serahkan
saja sepenuhnya masalah pelaksanaan pernikahan mereka pada mereka. Bukankah
begitu ayah?” sahut Herman.
Pak Rusli mengangguk pasrah. Perasaan
bahagia dan sedih bercampur baur dalam hatinya. Bahagia karena puterinya
sebentar lagi akan menjadi dokter dan memiliki seorang suami yang baik dan
berpendidikan tinggi. Sedih jika mengingat hutangnya delapan puluh juta pada
Pak Cosmas dan ia akan bilang apa pada Pak Cosmas. Padahal seluruh ongkos ke
Jakarta ini pun diberi oleh Pak Cosmas.
”Apa kalian sudah punya rencana?” Tanya
Umi dengan memandang Niyala dan Faiq bergantian. Niyala tidak menjawab apa-apa.
Sebab ia tidak tahu skenario ini sama sekali. Ia hanya yakin kakaknya sedang
berusaha menyelamatkan dirinya.
”Alhamdulillah Umi, kami sudah
membuat rencana yang matang sekali. Dan kami berharap Umi, Pak Rusli dan Mas
Herman menyetujui dan merestui rencana kami. Kami akan melangsungkan akad nikah
secepat mungkin.” Jawab Faiq tenang. Hati Niyala tiba-tiba berdesir mendengar
akad nikah secepatnya. Apakah kakaknya sudah gila? Apa kakaknya tidak sadar
sedang bebicara dengan siapa? Ia melirik Faiq. Pada saat yang sama Faiq juga
melirik Niyala. Lirikan mereka bertemu. Faiq mengerdipkan mata sambil
tersenyum. Niyala tidak mengerti. Ia hanya mengangguk setuju. Ia hanya
berpikir, pokoknya jika dibelakang nanti ada masalah yang bertanggung jawab
adalah kakaknya,Faiq.
”Kapan rencana kalian mau akad nikah?”
Tanya Umi.
”Secepatnya.” Sahut faiq.
”Ya, pastinya kapan?”
”Sebelum Ananda menjawab waktunya.
Terlebih dahulu ananda menanyakan kembali, apakah Umi, Pak Rusli dan Mas Herman
benar-benar merestui pernikahan kami lahir batin? Kami ingin pernikahan kami
penuh berkah, berlimpah doa dari orang-orang terdekat yang kami cintai. Jika
ada satu zarrah rasa tidak ikhlas, lebih baik kami berdua tidak menikah
selamanya.”
”Umi ikhlas lahir dan batin, anakku.”
”Bapak juga ikhlas lahir batin.”
”Saya juga ikhlas adik perempuanku
satu-satunya menikah dengan pemuda yang baik sepertimu, Faiq.”
”Alhamdulillah. Kami sangat
bahagia mendengarnya. Dik niyala, kau sudah mantap kan dengan rencana
pernikahan kita. Sudah mantap lahit batin kan Dik?” Kata Faiq sambil menyentuh
pundak Niyala. Hati Niyala bergetar hebat mendengar pertanyaan itu. Nadanya
begitu mantap meyakinkan. Ia menatap wajah Faiq dalam-dalam. Ia ingin mencari
kepastian ini main-main apa sungguhan. Ia tidak menemukan apa-apa kecuali mata
Faiq yang jernih bersinar dan senyumnya yang manis mengembang.
”Kenapa tiba-tiba kau ragu Adikku? Apa
kau masih menyangsikan kebulatan niat kakak untuk membahagiakanmu??”
Mata Niyala berkaca-kaca, ”Apakah ini
sungguhan ataukah cuma sandiwara? Ataukah Cuma mimpi?” Tanyanya dengan terisak.
”Ini sungguh dan serius. Kita akan
menikah secepatnya. Dan kita akan tetap tinggal bersama di rumah mungil ini
dengan penuh cinta. Kita akan mereda masa depan bersama. Dan akan membesarkan
anak-anak kita nanti bersama. Apakah kau tidak mau mewujudkan impian ini?”
Tangis Niyala meledak, dengan suara
terbata-bata ia bertanya, ”Benarkah kita a...kan menikah kak?”
Ruangan itu diselimuti rasa haru yang
luar biasa. Umi sesengukan menangis. Ia menangis seolah merasakan kebahagiaan
Niyala. Cintanya yang terpendam sebelas tahun yang masih dalam impian akan
menjadi kenyataan. Umi tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Pak Rusli juga
menangis. Ia menangis karena melihat secara lahir anaknya menangis dan bertanya
seperti itu karena luapan bahagia yang luar biasa. Juga Herman. Mereka bertiga
berpikiran dan berperasaan sama. Mereka tidak tahu bahwa Niyala menangis karena
masih mencari-cari satu kepastian, apakah yang dilakukan kakaknya Faiq itu cuma
sekedar sandiwara untuk menyelamatkannya sementara. Ataukah Faiq
bersungguh-sungguh hendak menikahinya sebagai istrinya selamanya. Sebab ia
merasa masalahnya sudah tidak sekedar main-main lagi. Kalaulah main-main,
apakah permainan ini tidak akan menyakitkan semuanya?. Menyakitkan Umi, ayahnya
dan Mas Herman.
”Kak Faiq, jelaskan padaku...apa arti
semua ini? Kakak sedang bersandiwara bukan?” Lanjut Niyala dengan
terisak dan air mata berkucuran.
”Adikku Niyala, dengarkan baik-baik ya!
Kakak bersumpah demi Allah, kakak sungguh-sungguh hendak menikahimu secepatnya.
Kakak tidak mungkin bisa hidup tanpa dirimu disamping kakak. Kakak sangat mencintaimu.
Dan kakak tidak pernah dan tidak akan pernah mencintai wanita selain Umi dan
dirimu. Kakak ingin kau menjadi istri kakak, menjadi pendamping kakak
mengarungi hidup ini, berlayar menuju ridha Ilahi. Dan kakak ingin kaulah yang
melahirkan, mendidik dan membesarkan anak-anak kakak. Kakak berjanji akan
membawamu ke istana kebahagiaan semampu kakak. Ini bukan sandiwara lagi. Ini
serius. Apakah kau ragu untuk melangkah ke pernikahan, mengarungi hidup dengan
kakak, Adikku?” Kali ini Faiq menjawab dengan segenap perasaannya. Kedua
matanya basah.
Mendengar
kalimat-kalimat yang keluar dari lisan Faiq dengan penuh kesungguhan itu,
Niyala merasa ada hawa dingin yang turun dari langit. Hawa dingin itu merasuk
di ubun-ubunnya lalu menjalar ke seluruh tubuhnya. Hatinya merasakan kesejukan
yang luar biasa. Tetesan air matanya semakin deras.
”Adik ikut
kakak. Adik sepenuhnya percaya pada kakak.” Pelan Niyala sambil menunduk.
Perasaan haru, bahagia, cinta, optimis dan surprise membaur jadi satu dan
berpendar-pendar dalam dadanya. Ia belum pernah merasakan perasaan seindah itu
sebelumnya.
”Semuanya sudah
terang. Jadi dalam rencanamu, kapan akadnya akan dilangsungkan, Anakku? Tanya
Umi sambil memandang wajah Faiq lekat-lekat.
”Ananda
berharap tidak ada yang kaget. Akad nikah akan kami laksanakan malam
ini juga!”
Tak ayal
Niyala, Umi, Pak Rusli dan Herman kaget mendengarnya.
”Ini bukan
lelucon Anakku!” Seru Umi.
”Ananda serius,
Umi. Ananda tidak main-main. Untuk sebuah acara sakral yang cuma sekali
dilaksanakan dalam hidup, apa ananda akan main-main? Ananda sudah mempersiapkan
semuanya dengan matang. Ananda sudah mengontak KUA dan membereskan
administrasinya. Ananda juga sudah mengundang tokoh-tokoh masyarakat, remaja
masjid dan masyarakat sekitar sini. Ananda sudah mengundang Pak Kiai Imam
Jazuli. Ananda juga sudah mempersiapkan katering dan handycamnya. Semua sudah
ananda persiapkan di Aula Islamic Centre, Umi. Setengah jam lagi acaranya akan
dimulai. Orang-orang sudah menunggu disana. Dua puluh menit lagi akan ada dua
mobil datang kemari. Sekarang sebaiknya Niyala, Umi, Pak Rusli, dan Mas Herman
bersiap-siap. Adik Niyala, kau cucilah mukamu. Berdandanlah yang anggun dan
jangan berlebihan, namun jangan juga sampai ada guratan kesedihan di wajahmu.
Kakak ingin kau bahagia. Gaun pengantin khas Turki yang kakak berikan tadi pagi
pakailah. Sementara kakak juga akan bersiap-siap. Kalau begitu, kita tutup dulu
musyawarah ini dengan doa kafaratul majlis. Lalu kita semua
bersiap-siap.”
Setelah ditutup
dengan doa. Empat orang itu sibuk mempersiapkan diri untuk sebuah acara sakral
yang tidak terduga-duga.
***
Niyala membasuh
wajahnya dengan lotion pembersih wajah. Lalu mengambil air wudhu. Di kamarnya ia
menyempatkan untuk shalat dua rakaat meminta ketenangan dan kebahagiaan.
Setelah itu ia berdandan seperti yang diminta kakak angkat yang sangat ia
kagumi dan ia cintai, yang kini tiba-tiba menjadi calon suaminya. Ia memakai
gaun pengantin khas Turki. Kepalanya ditutupi jilbab sutera Turki. Ia berdandan
dengan cepat namun hasilnya tetap luar biasa. Tanpa berdandan pun Niyala sudah
cantik mempesona. Di luar terdengar suara derum mobil.
Faiq keluar
dari kamarnya dengan pakaian biru telur yang menawan. Peci hitam bersulam emas
membuat dia semakin tampan. Lalu Niyala keluar dati kamarnya. Keduanya
berpandangan sesat lalu saling menunduk. Hati keduanya berbunga-bunga. Baru
kali ini mereka berpandangan namun disertai perasaan sangat indah yang belum
pernah mereka rasakan sebelumnya. Tak lama kemudian Umi, Pak Rusli dan Herman
sudah siap. Merekapun meluncur menuju Islamic Centre. Di sana semuanya telah
siap. Lampu hias menyala gemerlapan. Para tetangga, para pemuda dan
tokkoh-tokoh masyarakat sudah memenuhi ruangan.
Malam itu, akad
nikah antara Niyala Binti Rusli Hasibuan dan Muhammad Faiq Bin Saiful Anam
berlangsung dengan penuh khidmat, dan dalam acara yang sakral itu Faiq kembali
memberikan kejutan yang membuat Niyala dan ayahnya juga seluruh yang hadir
terkesima. Faiq memberikan mahar sebuah mushaf cantik yang ia beli di Cairo,
uang tunai senilai 85 juta rupiah dan hafalan surat Ar-Rahman.
Saat Faiq
membaca surat Ar-Rahman dengan nada penuh penghayatan, keindahan suaranya mampu
membuat semua yang hadir meitikkan air mata. Setiap kali Faiq melantunkan ayat
”Fa bi ayyi aalai Rabbikuma tukadzdzibaan (artinya :”Maka nikmat Tuhanmu
yang manakah yang kamu dustakan ?”). Dengan diiringi isak tangisnya, semua yang
hadir ikut terisak menangis. Dan diantara sekian banyak orang menangis, yang
paling dalam tangisannya sampai kerelung jiwa adalah Niyala. Pintu hatinya
terasa terbuka bagaikan melihat keagungan Tuhannya. Saat itulah ia merasakan
bahwa Allah benar-benar Maha Pengasih dan Penyayang. Ia merasakan betapa
agungnya nikmat Allah yang dilimpahkan kepadanya.
Setelah khutbah
nikah dan do’a, acara dilanjutkan dengan pesta walimah yang cukup meriah. Grup
rebana dan shalawat remaja mesjid tampil memukau. Seorang anak TPA berjilbab
merah jambu dan berpakaian merah jambu membacakan sebuah puisi berjudul
’Bidadariku’. Suaranya yang jernih dan merdu mampu menyihir seluruh manusia
yang ada dalam aula itu. Pesan puisi itu tersampaikan dengan dahsyat :
”Mas kawin
untuk bidadariku
Adalah sekuntum
bunga melati
Yang aku petik
dari sujud sembahyangku
Setiap hari
Buah cintaku
dengan bidadariku
Adalah lahirnya
sejuta generasi teladan
Yang
menggendong tempayan-tempayan kemanfaatan
Bagi manusia
dan kemanusiaan
Pada setiap
tempat, pada setiap zaman
Mereka lahir
demi kesejatian sebuah pengabdian
Dalam abad-abad yang susah,
Abad-abad yang
tidak mengenal Tuhan
Abad-abad
hilang naluri kemanusiaan
Abad-abad
berkuasa rezim-rezim kemungkaran
Dan mereka
tetap kekar dan setia membela kebenaran
Dan keadilan
Estafet
perjuangan kami berelanjutan
Sambung-menyambung
pada setiap generasi
Tak
berpenghabisan dan terus bergerak
Mengaliri
ladang-ladang peradaban
Seperti cintaku
pada bidadariku
Yang terus
tumbuh semakin subur
Dari hari ke
hari
Laksana kalimat
suci
Di hati para
salehin
Di hati para
Nabi”
Niyala sangat
tersebtuh mendengar puisi itu. Ia berkata dalam hati, ’Oh puisi yang indah!
Siapakah dia gerangan yang mencintai istrinya dengan begitu indah dan sucinya ?
Siapakah dia yang cintanya pada istrinya yang tak berpenghabisan, yang terus
tumbuh semakin subur, dari hari ke hari, laksana kalimat-kalimat suci, di hati
para salehin, di hati para nabi ? Siapakah dia yang menulis puisi itu ?
Kenapa anak itu tidak lebih dahulu memperkenalkan siapakah pembuatnya?”
’Tiga detik
kemudian pertanyaan Niyala terjawab. Usai membaca puisi gadis berjilbab merah
jambu itu berkata,
bapak-bapak,
ibu-ibu dan hadirin sekalian yang dirahmati Allah. Puisi ini ditulis dengan
segenap tetesan jiwa oleh kakak Muhammad Faiq saat masih kuliah di Mesir untuk
seorang bidadari impiannya. Yan saat itu dia belum tahu siapa bidadrinya? Dan
ternyata bidadarinya yang sangat dicintainya adalah Mbak Niyala yang cantik
jelita!”
Tak ayal, tepuk
tangan langsung bergemuruh membahana. Beberapa ibu tampakk mengusap ujung
matanya dengan sapu tangan. Hati Niyala berdesir kencang. Ia merasakan
kesejukan luar biasa. Tiada henti-hentinya mendengdangkan hamdalah.
Entah dari mana datangnya tiba-tiba ia teringat potongan sajak ”mendalam” Armin
Pane :
Kasih lari
mendatang,
Bersua pantai
tujuan sayang.
Memecah
menghebat gembira,
Melama, damai,
kasih mendalam.
* * *
Acara akad
nikah yang indah itu selesai tepat pukul dua belas kurang sepuluh menit.
Setelah semua hadirin memberi ucapan selamat, dua pengantin dan keluarganya
kembali ke rumah. Mereka tidak langsung istirahat. Tapi berbincang-bincang di
ruang tamu dengan wajah berhias bahagia. Niyala masih mengenakan gaun
pengantinnya. Dan Faiq belum mengganti pakaiannya.
”Faiq anakku,
Umi sangat bangga padamu, Nak. Kalau boleh ibu tanya dari mana kau dapatkan
biaya sebanayak itu?”
Faiq yang duduk
di sofa panjang di samping Niyala mengambil nafas panjang. Lalu menjawab,
”Anandalah yang
semestinya bangga memiliki seorang ibu seperti Umi. Umilah yang berkorban dan
pontang-panting mencarikan biaya agar ananda bisa kuliah ke Mesir. Kalau bukan
karena umi, Faiq tidak akan menjadi seperti sekarang. Faiq juga tidak akan
punya biaya sebanyak itu. Itu selalu mengajarkan agar ulet, sabar dan tidak
menyerah. Dan itulah yang Faiq kerjakan. Umi juga sering mewanti-wanti agar
Faiq hidup bersahaja dan hemat, itu j uga yang Faiq kerjakan. Dulu Faiq pernah
kirim uang beberapa ratus dolar pada Umi tapi Umi menginginkan agar Faiq
menyimpannya untuk hari depan Faiq. Dan semua nasihat Umi Faiq indahkan. Alhamdulillah
berkat do’a restu Umi, Ananda dapat beasiswa S2 di London. Beasiswa itu hanaya
cukup buat memenuhi kebutuhan ananda. Namun ananda bisa bekerja part time
di sebuah toko. Gajinya ananda tabung. Setelah itu ananda mendapat tawaran
untuk mengajar bahasa Arab di Islamic Centre. Ananda pun tinggal di sana jadi
uang sewa apartemen bisa ananda tabung. Alhamdulillah dengan itu semua
ananda bisa membiayai pernikahan ini. Dan saat ini ananda massih punya sisa
tabungan sebesaar 15 ribu pounsterling. Insya Allah cukup untuk
membiayai Dik Niyala untuk mengambil Specialis.”
Bagaimana kau
melakukan ini? Apakah telah benar-benar kau persiapkan jauh-jauh hari? Tanya
Umi lagi.
”Tidak Umi
semuanya faiq siapakan tadi pagi sepulang dari Pulo Gadung. Umi apa lupa, dulu
kan Faiq Ketua Remaja Masjid dan Humas Karang Taruna. Jadi, semuanya mudah
saja. Terus, kepala KUA nya itu kan teman satu bangku Faiq waktu SD. Yang
jelas, semuanya alhamdulillah berjalan dengan baik. Namun, Faiq minta
maaf pada Umi, Pak Rusli dan Mas Herman. Dalam musyawarah tadi Faiq telah
berbohong. Faiq minta maaf.”
”Apa itu Anakku
kalau boleh Umi tahu?”
”Faiq
mengatakan telah menjalin cinta dengan Dik Niyala sejak SMP itu sebenarnya Faiq
berbohong. Maafkan Faiq. Yang benar, sejak dulu Faiq menganggap Niyala seperti
adik sendiri. Dan sebetulnya Faiq mulai merasa mencintai Dik Niya bukan sebagai
adik adalah sejak tadi pagi. Sejak Umi mengungkapkan rasa tidak bisa berpisah
dengan Dik Niya. Sejak Umi merasa tidak ada perempuan yang bisa memahami dan
mencintai Umi melebihi Dik Niya. Sejak itulah Faiq meraba hati Faiq, ternyata
Faiq juga berat berpisah dengan Dik Niya. Dan setelah Dik Niya minta pada Faiq
untuk membantu menyelesaikan masalah yang sedang dihadapinya, maka Faiq
langsung mempersiapkan segalanya.”
Umi, Pak Rusli
dan Herman manggut-manggut mendengar pengakuan Faiq. Mata mereka semua
berkaca-kaca.
”Kalau kau Niya
sejak kapan cintamu pada kakak angkatmu berubah menjadi cinta seorang gadis
pada pemuda pujaannya?” celetuk Herman.
”Kalau dia
kayaknya saat pertama kali lihat aku dulu, sejak masih ingusan,hehehe...”
Serobot Faiq sambil tertawa renyah. Semua ikut tertawa kecuali Niyala.
”Ih, kakak
nakal! Main tuduh sembarangan!” Sewot Niyala.
”Lalu sejak
kapan?”
”Sejak
musyawarah tadi. Sejak kakak meyakinkan pada Niya, bahwa kakak tidak sedang
bersandiwara, tapi kakak bersungguh-sungguh. Sejak itulah rasa kagumku pada
kakak berubah menjadi rasa cinta.”
Umi menitikkan
air mata mengetahui kisah cinta dua anak yang disayanginya itu. Ia hanya bisa
mengucapkan Subhanallah dalam hati.
”Emm...Nak
Faiq, maharnya apa tidak terlalu besar?” Sahut Pak Rusli dengan mata basah dan
tangan bergetar memegang tas kecil berisi uang tunai 85 juta rupiah.
”Masya Allah. Mahar itu
tidak ada nilainya untuk seorang gadis shalehah seperti Niyala. Dunia seisi ini
tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan seorang istri shalehah. Bagi Faiq, Dik
Niyala tidak bisa dinilai dengan materi.”
Niyala menunduk
dengan air mata kembali menetes mendengar perkataan suaminya. Ia merasa dirinya
sangat dihargai dan dimuliakan. Hatinya tiada henti memuji keagungan Allah. Ia
berjanji akan benar-benar menjadi istri yang shalehah untuknya dan akan menjadi
ibu yang baik untuk anak-anaknya kelak.
”Apakah masih
ada yang perlu dibicarakan? Saya capek sekali. Saya perlu
istirahat.” Ucap Faiq.
”Memang sudah
malam. Saatnya istirahat. Apalagi besok pagi kita ada acara menghadiri wisuda
Niyala.”
Umi bangkit
dari duduknya diikuti pak Rusli dan Herman. Faiq berbisik manja di telinga
Niyala, ”Faiq malam ini tidur dimana Bu Dokter? Kamar Faiq ditempati ayah sama
kakakmu. Masak Faiq harus tidur di ruang tamu? Bolehkah Faiq tidur di kamar Bu
Dokter?”
Niyala tidak
menjawab. Ia meraih kepala Faiq dan hendak menciumnya. Faiq meletakkan telunjuk
tangan kanannya di depan bibirnya. ”Sst jangan disini”. Dengan gerakan cepat
Faiq membopong Niyala ke kamar. Umi, Pak Rusli dan Herman menyaksikan itu
dengan tersenyum geli.
Sampai di
kamar, Faiq meletakkan Niyala dan mendudukkannya perlahan di sisi ranjang. Faiq
mengamati wajah istrinya itu lekat-lekat. Maha suci Allah yang telah mengukir
wajah seindah ini. Bisiknya dalam hati.
”Kakak capek?”
Lirih Niyala
”He eh.”
”Mau dipijit?”
”He eh.”
”Kak, boleh
Adik minta sesuatu?”
”Boleh.”
”Adik tahu
kakak capek. Tapi adik minta, malam ini juga wisudalah adik menjadi seorang
perempuan yang paling berbahagia di dunia, sebelum besok adik di wisuda menjadi
sarjana Kedokteran.”
”Maksud Adik?”
Niyala
mengerdipkan mata.
Faiq tersenyum
dan berkata, ”Baiklah, kakak mengerti maksudmu. Tapi tolong kakak dipijitin
dulu donk, biar segar. Kakak capek banget. Setelah segar, kita shalat bareng
dua rakaat. Bermunajat kepada Allah yang telah memberikan nikmat maha agung
kepada kita berdua. Barulah kakak akan mewisudamu dan membawamu ke taman
surga.”
”Tapi nanti
saat shalat jangan baca surat yang panjang ya kak? Membaca
surat yang pendek saja.”
”Lho justru
nanti rakaat pertama kakak mau membaca Al-Baqarah sampai selesai. Rakaat kedua
mau membaca Ali-Imran.”
“Jangan
kak!” Rengek Niyala manja.
“Kenapa?”
“Ah kakak,
nanti keburu pagi.”
Faiq tersenyum.
Niyala
menatapnya dengan penuh cinta.
Di luar kamar
purnama memancar terang. Sinarnya yang keperakan menyepuh genting dan
pepohonan. Angin mengalir sepoi-sepoi. Langit cerah. Hawa sejuk perlahan
mengirim embun pada rerumputan. Bintang-bintang bertaburan. Sepasang
kunang-kunang menari-nari di angkasa. Di iringi tasbih alam, keduanya tampak
begitu indah memadu cinta.
TAMAT