Senin, 30 Desember 2013

Menaklukkan atau Ditaklukkan


Selasa, 31 Desember 2013 1:38:40 PM

Oleh M. As`ad Mahmud, Lc

Setiap satuan waktu memiliki maknanya sendiri. Tergantung seperti apa kita menilainya. Allah memberi nikmat waktu, lalu kita ditantang memaknainya. 

Di titik ini, semuanya memiliki hak setara. Raja Fir`aun, Nabi Muhammad, Imam Syafi`i, saya dan anda. Tapi pada titik yang sama, tak semua memiliki kesudahan yang seragam. Ada yang melesat derajatnya, tapi ada juga yang terjerumus ke titik terendah, serendah-rendahnya. Ada yang menjadi mulia, tapi adapula yang kehilangan jatidirnya sebagai manusia. Maka, bagaimana kita bersikap dalam satuan waktu, disitulah kualitas diri ditentukan.

Sekarang kita berada di ambang tahun 2014. Tiba-tiba, kita disadarkan tentang cepatnya laju waktu, memaksa kita berlomba dengan limit takdir yang Allah tuliskan untuk kita. Hasan Al Bashry berkata; “Sejatinya setiap kita adalah kumpulan hari-hari. Ketika hari-hari berlalu, maka semakin habis pula bagian dari diri kita”

Setiap satuan waktu memiliki ibrohnya sendiri. Tergantung seperti apa kita membacanya. Peristiwa isro` mi`roj, misalnya. Salah satu ibrohnya adalah tentang waktu, yang sangat relatif. Bentang panjang masjidil haram – masjidil aqsha – sidratul muntaha – masjidil haram oleh Allah dipersingkat sedemikian rupa. Melampaui limit logika orang ramai.

Alkisah, Abu jahal begitu semangat menjadikannya sebagai modus baru pendustaan terhadap risalah Muhammad. Tapi Abu bakar Ash shiddiq membaca peristiwa lintas batas ini dengan keimanan lintas batas pula, "Kalau Muhammad yang mengatakan itu, maka itu pasti benar".

Begitulah, perbedaan cara membaca waktu melahirkan perbedaan orientasi. Pepatah sekuler berujar "time is money", yang menunjukkan orientasi mereka dalam memanfaatkan waktu. Tapi para ulama memaknainya dengan lebih akurat, "al waqtu huwa al hayah". Waktu adalah kehidupan. Ia adalah wadah untuk diisi, sarana untuk mengabdi. Kualitas isinya bergantung pada orientasi kita dalam mengisinya. Imam syafi`i berkata, "Jika engkau tidak menyibukkan diri dengan kebenaran, maka engkau akan disibukkan kebatilan”.

Setiap satuan waktu memiliki momentumnya sendiri. Tergantung seperti apa kita memanfaatkannya. 

Analoginya, uang miliaran rupiah di bank tetap tak bernilai, kala tak bertemu momentum yang tepat untuk dibelanjakan. Sebaliknya, sepuluh ribu rupiah untuk yang membutuhkan, pastilah tiada tara nilainya. Begitupun waktu. Semakin banyak merebut momentum, semakian sukses hidup kita.

Maka, aktifitas yang segunung tak mesti jaminan. Perlu planning detail, sedikit mengerutkan kening sembari menggantung tanya, apakah momentumnya sudah tepat? Ini penting, agar selamat dari jebakan; rasanya sudah sibuk sekali, tapi sebenarnya hidupnya belum beranjak jauh. Tidak efektif waktunya. Atau tidak barakah umurnya.

Maka, kalau bekerja tidak tepat momentumnya saja dianggap kerugian, bagaimana dengan membuang waktu untuk hal yang nirfaedah? Ibnu Qoyyim berkata; “menyia nyiakan waktu itu lebih berbahaya daripada kematian. Sebab kematian hanya memisahkanmu dari dunia. Sedangkan menyia-nyiakan waktu akan menjauhkanmu dari Allah”.

Setiap satuan waktu memiliki pahalanya sendiri. 

Ini istilah dari Abu Bakar Ash siddiq RA. Dan ini dia prinsip orang beriman; bertambahnya waktu harus beriring dengan bertambahnya amal, kualitas maupun kuantitasnya. Termasuk sekarang, di ambang pergantian warsa yang ke sekian, sabda baginda layak kita baca ulang; sebaik-baik manusia adalah yang panjang umurnya, dan bagus amalnya. Dan seburuk - buruknya adalah yang panjang umurnya dan buruk amalnya (HR Attirmidzy).

Surat Al Hadid (57) berkisah tentang bani isroil, diturunkan al kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka, tetapi hati mereka menjadi keras.  Dari masa ke masa, dari rasul ke rasul, dari generasi ke generasi, tak banyak yang berubah pada bani israil.

Bandingkan dengan Abu bakar RA. Masa berislamnya hanya sekira 25 tahun. Tapi efektif hidupnya, barakah umurnya. Baru subuh hari, sudah sekian kebajikan ia tuntaskan. Qiyamullail. Berniat puasa. Menjenguk si sakit, bahkan mengantar jenazah.

Imam syafi`i juga. Baru sekira 50 tahun kala beliau wafat. Tapi ilmu ushul fiqihnya membantu semua generasi memahami kitab dan sunnah. Efektif hidupnya. Barakah umurnya. Beliau tetap berbagi manfaat, meski raga sudah berpulang dalam hitungan abad.

Nah, bagaimana jika saat hidup saja tak sanggup berbagi bajik, apatah lagi kalau sudah menjadi tanah?

Sekarang tinggal kita bertiga; saya, anda dan waktu. Mau menaklukkan waktu, atau ditaklukkan?

Wallahul musta`aan. 


*Biodata penulis
M. As`ad Mahmud, Lc
Ponpes Sabilul Khoirot, Tengaran, Kab. Semarang
Fak. Syariah Universitas Al Azhar, Kairo. (2000 – 2005)
Staf Kaderisasi DPD PKS Kab.Semarang


Rabu, 25 Desember 2013

Muslimah dan 3 Kondisi Cinta

Kata “cinta” pasti bukan sesuatu yang asing, termasuk bagi muslimah. Bahkan, muslimah lebih sensitif ketika mendengar “cinta” dibandingkan dengan kaum Adam.

Sudah menjadi fitrah, muslimah memiliki jiwa yang lebih lembut, halus dan peka daripada pria. Kelembutan jiwa, kehalusan hati dan kepekaan perasaan itu adalah keistimewaan muslimah. Tetapi tidak jarang, ketiga hal itu juga mendorongnya menjadi salah sikap terhadap cinta.

Ada 3 kondisi cinta yang bisa dialami seorang muslimah.

Pertama, cinta kepada Allah dan cinta kepada apa yang dicintai Allah
Hal ini yang dituntunkan oleh Islam dan dikehendaki Allah. Cinta kepada Allah (mahabbatullah) merupakan cinta yang pertama dan utama. Ia adalah bingkai sekaligus pondasi cinta. Karena cintanya kepada Allah-lah, kemudian muslimah mencintai sesuatu selain-Nya; karena itu perintah Allah, ia cintai karena Allah.

Muslimah mencintai Rasul-Nya, keluarga Rasulullah, dan sahabat Nabi; ia mencintai mereka karena Allah memerintahkannya. Karenanya ia pun mencintai mereka karena Allah.

Muslimah mencintai suaminya, muslimah mencintai orang tuanya, muslimah mencintai anak-anaknya; semuanya untuk Allah dan karena Allah, lillah dan fillah.

Muslimah mencintai dakwah, muslimah mencintai jama’ah dakwah, muslimah mencintai umat Islam; semuanya untuk Allah dan karena Allah, lillah dan fillah.

Cinta yang demikian adalah cinta yang sejati. Yakni mencintai sesuatu yang dicintai Allah, diperintahkan-Nya, atau diizinkan-Nya tanpa melebihi cintanya kepada Allah.

Kedua, mencintai sesuatu dengan kadar yang sama atau lebih besar dengan cinta kepada Allah
Ini adalah cinta yang syirik (mahabbah syirkiyah). Jika seorang muslimah mencintai suaminya sebesar cintanya kepada Allah, maka ini tergolong cinta syirik yang dilarang. Jika seorang muslimah mencintai anaknya sebesar cintanya kepada Allah, maka ini tergolong cinta syirik yang tidak diperbolehkan.

Jika kadarnya sama dengan cinta Allah saja dilarang dan merupakan kesyirikan, maka cinta kepada sesuatu dengan kadar cinta yang lebih besar dari kecintaannya kepada Allah, maka jelas itu lebih tidak diperbolehkan.

Ketiga, mencintai sesuatu yang dibenci oleh Allah
Ini juga cinta yang dilarang. Ketika muslimah melabuhkan cintanya kepada sesuatu yang dibenci Allah ini, sesungguhnya ia telah terperosok kepada sesuatu yang diharamkan.

Misalnya muslimah yang pacaran. Ia mencintai pacarnya. Padahal pacarnya itu tidak halal baginya untuk menyentuh kulitnya, tidak halal bagi mereka untuk berdua-duaan (khalwat), tidak halal bagi mereka untuk bermesraan dan bercumbu ria.

Atau jika muslimah mencintai suatu aktifitas yang dibenci Allah. Misalnya mencintai ghibah atau gosip, dan sejenisnya.

Akhirnya, kita berlindung kepada Allah dari cinta yang salah. Dan memohon kepada Allah untuk mendapatkan cinta yang diridhaiNya saja. []http://www.bersamadakwah.com/2012/05/muslimah-dan-3-kondisi-cinta.html

Kamis, 19 Desember 2013

Aneh menurut Mereka,,?? may be.....^^

Hemm...kali ini lagi pingin mengulas dari beberapa pertanyaan temen-temen yang akhir2 ini jdi sosok kontroversial, berbicara tentang prinsip dan idealisme kadang menjadi sbuah perdebatan yang tak berujung, bagaimana tidak..?? setiap orang butuh eksistensi, dan sejatinya pingin di akui.

"jangan sok dech,,kaya g butuh cinta aja.." wuisst,,,tenggg rasanya ada yang menusuk kehulu.oh ..tidak mana mungkin aq tak butuh itu,CINTA bagaimana aq bisa hidup tanpa eksistensinya. Normalisasi manusia pernah merasakannya, patah,jatuh,bangun ,merintis,belajar,mendamba,mengharap,diam ....dan air mata. itu sering jdi prediket dri kata sifat yang memiki banyak arti ini.Tapi haruskah seluruh dunia tahu,"hay..aq sedang jatuh cinta", "hay ..aq sedang patah hati","hay...aq sedang menangis krena cinta".gubrakkk...........

hati-hati dengan hati,,,knapa kata 'hati' harus di kuadratkan di awal kata, ,?karena dri hati jatuhnya ke hati,luka di hati, senyum dari hati dan penawarnya ada di hati.Bukan tidak menganggap penting sebuah CINTA, tapi krna aq lebih mecintai hati yang memiliki cinta.Menyelamatkan yang memiliki lebih bisa mengerti cara yang tepat pada waktu yang tepat pula untuk dimiliki.

lalu apa makna sbuah penolakan..?? apakah karena kau tidak mencintainya..?? "hemm...pertanyaan yang bagus".
jelas,,bukan karena aq tidak mencintainya, justru karena aq mencintainya tapi sesuai porsinya, bukankah kita saudara..? sudah seharusnya un saling mencintai dan menyayangi bukan..? . Andai ukhuwah ini lebih bisa di rasa dan mampu memaknainya lebih dalam, seperti apapun bentuk dan dimanapun tempatnya , sesungguhnya tak ada yang lebih setia membersamainya kecuali cinta, kasih dan sayang. ya ada cinta dalam setiap ukhuwah.

Selasa, 10 Desember 2013

Virus Ganas Itu Bernama "Riya"



“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena ria kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatu pun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir” (QS Al Baqarah [2]: 264).


Siapa pun tidak akan pernah mau menjadi sosok manusia berikut ini. Di dunia ia dikenal masyarakat luas sebagai orang yang baik. Ahli ibadah, rajin menuntut ilmu, membaca Al Qur’an, aktif berdakwah dan dermawan bahkan telah berkorban dengan harta, jiwa dan raganya di jalan Allah. Namun, di akhirat kondisinya sangat tragis dan mengenaskan karena menjadi penghuni neraka. Apa yang salah? Yang salah adalah niat dan motivasinya dalam beramal. Semua kebaikan dan kebajikan yang dilakukan di dunia, ternyata tidak didasari karena ikhlas, mencari ridha Allah swt, melainkan karena riya’ (pamer) dan mengharapkan pujian manusia. Sehingga semua amal kebajikannya pun hancur lebur tak berbuah pahala sedikit pun.
Rasulullah saw telah memberitakan sosok manusia nestapa ini dalam hadits shahihnya, “Sesungguhnya orang yang pertama kali diadili dan dieksekusi adalah:
- Seorang yang mati di jalan Allah. Ia dihadirkan dan diperkenalkan nikmat-nikmatnya, maka ia pun mengenalnya. Lalu ditanya, “Apa yang telah engkau lakukan dengan nikmat-nimat itu?” Ia menjawab, “Aku pergunakan untuk berperang di jalan-Mu hingga aku mati syahid.” Allah berfirman, “Engkau telah berbohong. Engkau berperang (dengan motivasi) agar engkau dipanggil “pemberani” (pahlawan). Maka, hal itu benar-benar telah terwujud. Kemudian datang perintah agar diseret wajahnya hingga dijerumuskan ke dalam api neraka.
- Dan dihadirkan (pula) seorang yang rajin mencari ilmu, mengajarkannya kepada orang lain dan rajin membaca Al Qur’an. Diperkenalkan nikmat-nikmatnya, maka ia pun mengenalnya. Lalu ditanya, “Apa yang engkau lakukan dengan nikmat-nikmat itu?” Ia menjawab, “Aku pergunakan untuk menuntut ilmu, mengajarkannya dan membaca Al Qur’an.” Allah berfirman, “Engkau dusta. Sesungguhnya engkau rajin mencari ilmu agar engkau dijuluki sebagai “orang ‘alim” (cerdas, jenius atau intelektual). Dan engkau rajin membaca Al Qur’an agar engkau dipanggil “Qori’” (ahli tilawah). Maka, hal itu pun benar-benar telah terealisir. Kemudian datang perintah agar diseret wajahnya hingga dijerumuskan ke dalam api neraka.
- Dihadirkan juga seorang yang diluaskan rezekinya oleh Allah dan dianugerahi beragam harta yang melimpah. Diperkenalkan nikmat-nikmatnya, maka ia pun mengenalnya. Lalu ditanya, “Apa yang engkau lakukan dengan nikmat-nikmat itu?” Ia menjawab, “Tidak ada urusan yang Engkau senang untuk berinfak di situ kecuali aku telah berinfak di dalamnya semata-mata untuk-Mu (mencari ridha-Mu)”. Allah berfirman, “Engkau berbohong. Sesungguhnya engkau berinfak agar engkau dipanggil “dermawan.” Maka, hal itu benar-benar telah terwujud. Kemudian datang perintah agar diseret wajahnya hingga dijerumuskan ke dalam api neraka” (HR Muslim no. 1905).
Ayat dan hadits di atas menggambarkan betapa bahayanya riya’. Ia merupakan virus ganas yang menyerang amal seseorang dan membumihanguskannya sehingga tidak menyisakan pahala sedikit pun. Bahkan, Abu Hurairah ra sampai pingsan 3 (tiga) kali ketika ingin memberitakan hadits tersebut karena beliau sangat takut sekali dengan penyakit hati yang paling berbahaya ini (Ar Raaid, Maazin Al Furaih, I/53).