Selasa, 31 Desember 2013 1:38:40 PM
Oleh M. As`ad Mahmud, Lc
Setiap satuan waktu memiliki maknanya sendiri. Tergantung seperti apa kita menilainya. Allah memberi nikmat waktu, lalu kita ditantang memaknainya.
Di titik ini, semuanya memiliki hak setara. Raja Fir`aun, Nabi Muhammad, Imam Syafi`i, saya dan anda. Tapi pada titik yang sama, tak semua memiliki kesudahan yang seragam. Ada yang melesat derajatnya, tapi ada juga yang terjerumus ke titik terendah, serendah-rendahnya. Ada yang menjadi mulia, tapi adapula yang kehilangan jatidirnya sebagai manusia. Maka, bagaimana kita bersikap dalam satuan waktu, disitulah kualitas diri ditentukan.
Sekarang kita berada di ambang tahun 2014. Tiba-tiba, kita disadarkan tentang cepatnya laju waktu, memaksa kita berlomba dengan limit takdir yang Allah tuliskan untuk kita. Hasan Al Bashry berkata; “Sejatinya setiap kita adalah kumpulan hari-hari. Ketika hari-hari berlalu, maka semakin habis pula bagian dari diri kita”
Setiap satuan waktu memiliki ibrohnya sendiri. Tergantung seperti apa kita membacanya. Peristiwa isro` mi`roj, misalnya. Salah satu ibrohnya adalah tentang waktu, yang sangat relatif. Bentang panjang masjidil haram – masjidil aqsha – sidratul muntaha – masjidil haram oleh Allah dipersingkat sedemikian rupa. Melampaui limit logika orang ramai.
Alkisah, Abu jahal begitu semangat menjadikannya sebagai modus baru pendustaan terhadap risalah Muhammad. Tapi Abu bakar Ash shiddiq membaca peristiwa lintas batas ini dengan keimanan lintas batas pula, "Kalau Muhammad yang mengatakan itu, maka itu pasti benar".
Begitulah, perbedaan cara membaca waktu melahirkan perbedaan orientasi. Pepatah sekuler berujar "time is money", yang menunjukkan orientasi mereka dalam memanfaatkan waktu. Tapi para ulama memaknainya dengan lebih akurat, "al waqtu huwa al hayah". Waktu adalah kehidupan. Ia adalah wadah untuk diisi, sarana untuk mengabdi. Kualitas isinya bergantung pada orientasi kita dalam mengisinya. Imam syafi`i berkata, "Jika engkau tidak menyibukkan diri dengan kebenaran, maka engkau akan disibukkan kebatilan”.
Setiap satuan waktu memiliki momentumnya sendiri. Tergantung seperti apa kita memanfaatkannya.
Analoginya, uang miliaran rupiah di bank tetap tak bernilai, kala tak bertemu momentum yang tepat untuk dibelanjakan. Sebaliknya, sepuluh ribu rupiah untuk yang membutuhkan, pastilah tiada tara nilainya. Begitupun waktu. Semakin banyak merebut momentum, semakian sukses hidup kita.
Maka, aktifitas yang segunung tak mesti jaminan. Perlu planning detail, sedikit mengerutkan kening sembari menggantung tanya, apakah momentumnya sudah tepat? Ini penting, agar selamat dari jebakan; rasanya sudah sibuk sekali, tapi sebenarnya hidupnya belum beranjak jauh. Tidak efektif waktunya. Atau tidak barakah umurnya.
Maka, kalau bekerja tidak tepat momentumnya saja dianggap kerugian, bagaimana dengan membuang waktu untuk hal yang nirfaedah? Ibnu Qoyyim berkata; “menyia nyiakan waktu itu lebih berbahaya daripada kematian. Sebab kematian hanya memisahkanmu dari dunia. Sedangkan menyia-nyiakan waktu akan menjauhkanmu dari Allah”.
Setiap satuan waktu memiliki pahalanya sendiri.
Ini istilah dari Abu Bakar Ash siddiq RA. Dan ini dia prinsip orang beriman; bertambahnya waktu harus beriring dengan bertambahnya amal, kualitas maupun kuantitasnya. Termasuk sekarang, di ambang pergantian warsa yang ke sekian, sabda baginda layak kita baca ulang; sebaik-baik manusia adalah yang panjang umurnya, dan bagus amalnya. Dan seburuk - buruknya adalah yang panjang umurnya dan buruk amalnya (HR Attirmidzy).
Surat Al Hadid (57) berkisah tentang bani isroil, diturunkan al kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka, tetapi hati mereka menjadi keras. Dari masa ke masa, dari rasul ke rasul, dari generasi ke generasi, tak banyak yang berubah pada bani israil.
Bandingkan dengan Abu bakar RA. Masa berislamnya hanya sekira 25 tahun. Tapi efektif hidupnya, barakah umurnya. Baru subuh hari, sudah sekian kebajikan ia tuntaskan. Qiyamullail. Berniat puasa. Menjenguk si sakit, bahkan mengantar jenazah.
Imam syafi`i juga. Baru sekira 50 tahun kala beliau wafat. Tapi ilmu ushul fiqihnya membantu semua generasi memahami kitab dan sunnah. Efektif hidupnya. Barakah umurnya. Beliau tetap berbagi manfaat, meski raga sudah berpulang dalam hitungan abad.
Nah, bagaimana jika saat hidup saja tak sanggup berbagi bajik, apatah lagi kalau sudah menjadi tanah?
Sekarang tinggal kita bertiga; saya, anda dan waktu. Mau menaklukkan waktu, atau ditaklukkan?
Wallahul musta`aan.
*Biodata penulis
M. As`ad Mahmud, Lc
Ponpes Sabilul Khoirot, Tengaran, Kab. Semarang
Fak. Syariah Universitas Al Azhar, Kairo. (2000 – 2005)
Staf Kaderisasi DPD PKS Kab.Semarang