“Hai
orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu
dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti
orang yang menafkahkan hartanya karena ria
kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian.
Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah,
kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih
(tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatu pun dari apa yang
mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang
yang kafir” (QS Al Baqarah [2]: 264).
Siapa pun tidak akan pernah mau menjadi
sosok manusia berikut ini. Di dunia ia dikenal masyarakat luas sebagai
orang yang baik. Ahli ibadah, rajin menuntut ilmu, membaca Al Qur’an,
aktif berdakwah dan dermawan bahkan telah berkorban dengan harta, jiwa
dan raganya di jalan Allah. Namun, di akhirat kondisinya sangat tragis
dan mengenaskan karena menjadi penghuni neraka. Apa yang salah? Yang
salah adalah niat dan motivasinya dalam beramal. Semua kebaikan
dan kebajikan yang dilakukan di dunia, ternyata tidak didasari karena
ikhlas, mencari ridha Allah swt, melainkan karena riya’ (pamer) dan
mengharapkan pujian manusia. Sehingga semua amal kebajikannya pun hancur
lebur tak berbuah pahala sedikit pun.
Rasulullah saw telah memberitakan sosok
manusia nestapa ini dalam hadits shahihnya, “Sesungguhnya orang yang
pertama kali diadili dan dieksekusi adalah:
- Seorang yang mati di jalan Allah. Ia
dihadirkan dan diperkenalkan nikmat-nikmatnya, maka ia pun mengenalnya.
Lalu ditanya, “Apa yang telah engkau lakukan dengan nikmat-nimat itu?”
Ia menjawab, “Aku pergunakan untuk berperang di jalan-Mu hingga aku mati
syahid.” Allah berfirman, “Engkau telah berbohong. Engkau berperang
(dengan motivasi) agar
engkau dipanggil “pemberani” (pahlawan). Maka, hal itu benar-benar
telah terwujud. Kemudian datang perintah agar diseret wajahnya hingga
dijerumuskan ke dalam api neraka.
- Dan dihadirkan (pula)
seorang yang rajin mencari ilmu, mengajarkannya kepada orang lain dan
rajin membaca Al Qur’an. Diperkenalkan nikmat-nikmatnya, maka ia pun
mengenalnya. Lalu ditanya, “Apa yang engkau lakukan dengan nikmat-nikmat
itu?” Ia menjawab, “Aku pergunakan untuk menuntut ilmu, mengajarkannya
dan membaca Al Qur’an.” Allah berfirman, “Engkau dusta. Sesungguhnya
engkau rajin mencari ilmu agar engkau dijuluki sebagai “orang ‘alim” (cerdas,
jenius atau intelektual). Dan engkau rajin membaca Al Qur’an agar
engkau dipanggil “Qori’” (ahli tilawah). Maka, hal itu pun benar-benar
telah terealisir. Kemudian datang perintah agar diseret wajahnya hingga
dijerumuskan ke dalam api neraka.
- Dihadirkan juga seorang yang diluaskan
rezekinya oleh Allah dan dianugerahi beragam harta yang melimpah.
Diperkenalkan nikmat-nikmatnya, maka ia pun mengenalnya. Lalu ditanya,
“Apa yang engkau lakukan dengan nikmat-nikmat itu?” Ia menjawab, “Tidak ada
urusan yang Engkau senang untuk berinfak di situ kecuali aku telah
berinfak di dalamnya semata-mata untuk-Mu (mencari ridha-Mu)”. Allah
berfirman, “Engkau berbohong. Sesungguhnya engkau berinfak agar engkau
dipanggil “dermawan.” Maka, hal itu benar-benar telah terwujud. Kemudian
datang perintah agar diseret wajahnya hingga dijerumuskan ke dalam api
neraka” (HR Muslim no. 1905).
Ayat dan hadits di atas
menggambarkan betapa bahayanya riya’. Ia merupakan virus ganas yang
menyerang amal seseorang dan membumihanguskannya sehingga tidak
menyisakan pahala sedikit pun. Bahkan, Abu Hurairah ra sampai pingsan 3
(tiga) kali ketika ingin memberitakan hadits tersebut karena beliau
sangat takut sekali dengan penyakit hati yang paling berbahaya ini (Ar Raaid, Maazin Al Furaih, I/53).
Makna riya’
Syekh Izzuddin bin Abdussalam –rahimahullah- mendefinisikan riya’ dengan membandingkan dengan sum’ah seraya mengatakan, “Riya’ adalah beramal (melakukan kebajikan) untuk selain Allah. Sedang sum’ah adalah menyembunyikan amal atau perbuatan untuk Allah, kemudian menceritakannya kepada orang lain” (Fathu’l Bari, Ibnu Hajar XI/336).
Definisi lain mengatakan, riya’ adalah
seorang muslim mempertontonkan amal shalih di hadapan orang banyak
dengan tujuan mengharapkan kedudukan atau dunia.
Sementara Al Qadhi Iyadh –rahimahullah-
mengatakan, “Meninggalkan amal perbuatan demi manusia adalah riya’.
Beramal karena manusia syirik. Dan ikhlas adalah ketika Allah
menyelamatkanmu dari keduanya” (Tahdzib Madaarij Ash Shalihin, hal. 515).
Mengungkit-ungkit kebaikan
Allah swt mengawali pesan-pesan spiritual-Nya dalam ayat tersebut dengan memanggil orang-orang yang beriman dengan An Nida’ Al Habib (panggilan mesra), “Yaa Ayyuhalladziina Aamanuu”.
Hal ini memberikan pemahaman kepada kita, bahwa kejujuran keimanan
seseorang mendorongnya untuk tidak menghilangkan (pahala) beragam
kebaikan, termasuk sedekahnya dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti
(perasaan si penerima). Ia sadar betul, bahwa mengungkit-ungkit
kebajikan diancam oleh Nabi saw –dalam hadits yang diriwayatkan oleh
Imam Muslim – dengan dijauhkan dari surga dan tidak diajak bicara oleh
Allah pada hari kiamat. Keimanannya kepada Allah menjadikannya selalu
beramal dan berbuat kebajikan didasari ikhlas karena Allah dan bukan
karena riya’ kepada manusia.
Berbeda sekali, ketika hati kosong dari iman dan dipenuhi oleh riya’. Dalam kajian tafsir Sayyid Quthb –rahimahullah –
orang yang riya’ tidak akan dapat merasakan denyut dan secercah iman
sebab telah tertutup oleh riya’. Hati yang semacam ini diumpamakan
seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa
hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Maka,
terkuaklah kerasnya batu itu, meski telah disiram hujan, ia tetap tidak
menumbuhkan tanaman dan tidak menghasilkan buah. Begitu pula dengan hati
yang berinfak karena riya kepada manusia, maka tidak akan membuahkan
kebaikan dan menghasilkan pahala (Fi Zhilal Al Qur’an, I/303).
Karena itu, pantaslah kalau riya’ adalah sifat dan karakter orang-orang munafik sebagaimana firman Allah swt, “Sesungguhnya
orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan
mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan
malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan
tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” (QS An Nisaa’ [4]: 142).
Sebab-sebab riya’ dan obatnya
Sifat negatif yang ada pada seseorang
bukanlah bawaan dari lahir, melainkan karena ada faktor-faktor
pemicunya. Demikian pula dengan riya’, kemunculannya didorong oleh
banyak sebab. Di antara sebab-sebab riya’ adalah lingkungan keluarga dan
didikan sejak kecil, pengaruh teman yang buruk akhlaknya, tamak, ambisi
terhadap jabatan dan popularitas, dan tidak mengenal Allah dengan baik.
Penyakit hati yang juga dikenal dengan
sebutan “Syirik Ashghar” (syirik kecil) ini tidak berarti tidak bisa
dibasmi dan diobati. Sebab, setiap penyakit pasti ada obatnya, termasuk
riya. Di antara obat riya adalah:
Mengenal Allah lebih mendalam, menjauhi
teman-teman yang dikenal sebagai orang yang suka riya’, meningkatkan
komitmen terhadap nilai-nilai-Islam, sering mengingat dampak-dampak
negatif riya baik di dunia maupun di akhirat dan lain-lain, selain tentu
dengan do’a, meminta perlindungan Allah swt dari virus ganas ini
seperti biasa dilakukan oleh para ulama salaf.
Semoga Allah swt melindungi kita dan semua keluarga kita dari sifat riya. Amiin... (Ahmad Khusyairi Suhail)http://www.ummi-online.com/berita-931-virus-ganas-itu-bernama-riya.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar